Wakil Rakyat yang Buta



Puasa sudah berjalan beberapa hari. Kemeriahan ramadhan begitu terlihat, masyarakat muslim menyambutnya dengan suka cita. Semua bergembira. Tapi, masih ada sosok-sosok yang menganggap momen ramadhan seperti biasa saja. Tidak ada yang spesial, tak ubahnya seperti hari-hari biasa. Sudah terbiasa dengan puasa. Karena bagi mereka tiap hari adalah puasa. 

Jalanan ibu kota mulai lengang. Ternyata tidak selamanya ibu kota padat merayap, macat berjam-jam. Orang-orang yang tidak paham betul bahwa setiap roda ada perputaran. Kadang di atas dan kadang di bawah. Begitu juga arus lalu lintas. Di siang hari hingga menjelang malam padat merayap. Semua kendaraan berburu cepat sampai tujuan. Akhirnya macat di mana-mana. Dari ujung ke ujung jalan. Dari simpang ke simpang satunya. Jika mereka tau malam hari, di gelapan malam yang tak benar-benar gelap karena pertolongan cahaya jalanan lebih leluasa daripada di siang hari. 

"Manusia memang tidak sabaran. Jika mereka ingin menunggu sedikit saja sampai malam hari. Pasti jalanan Ibu Kota tidak akan pernah macat," lelaki tua itu bercakap dengan dirinya sendiri. Dengan gerobak sampah yang ditariknya kesana kemari untuk memungut bungkus bekas air meniral yang dicampakkan pengendara atau orang-orang yang tidak bertanggung jawab atas kebersihan lingkungan. 

Tong sampah dikais-kais. Berharap ada barang yang bisa ia pungut untuk dijual dan dijadikan uang. Membeli kebutuhan dapur dan memenuhi hak perut yang sejengkal. Asap kendaraan mengangkasa menyebabkan langit menjadi kelabu. Suara-suara kendaraan menyebabkan polusi udara. Ditambah lagi suara klakson yang tidak sabaran. Gerah menyelimuti. 

Lelaki tua itu duduk di pingiran jalan raya. Matanya melangit dengan tatapan kosong. Entah apa yang sedang ia pikirkan. Gerobaknya sudah hampir menjelang adzan magrib belum terisi penuh. Tidak jauh beda dengan keadaan perutnya yang sama sekali belum terisi apapun. Ia puasa sepanjang hari. Bisa jadi hingga esok harinya. 

Ingin segera pulang ke rumahnya. Ia tinggal di pinggiran rel kereta api bersama istri dan anaknya yang masih kecil. Di gerbong-gerbong kereta tak terpakai mereka tinggal. Jika ada razia tidak jarang mereka harus pindah, meninggalkan gerbong kereta yang mereka tempati. Sore itu langkahnya begitu lemas. Karena perutnya tidak terisi apa pun. Di sebrang jalan restoran menyediakan aneka makanan enak. Ia hanya bisa menelan air liur. Tenggorokannya turun naik. 

Jam sudah menunjukkan waktu berbuka. Semua orang menjamu selera. Ia hanya bisa melihat orang-orang yang begitu asik menikmati hidangan lezat. Langkahnya yang lemah terus berjalan menuju tempat penjualan barang bekas. Berapa pun hasilnya hari itu dia harus segera pulang. Anak dan istrinya sudah menunggunya pulang dan berharap membawa rupiah yang lumayan. 

Hari itu penghasilannya hanya cukup untuk membeli beras sekilo dan mie instan dua bungkus. Dengan hasil seadanya ia sedikit mempercepat langkahnya agar sampai rumah. Malaikat kecilnya sudah menunggu. Perutnya sudah berbunyi sejak bedug magrib belum berkumandang. Namun, hal itu sudah terbiasa baginya. 

**** 

Di tangan laki-laki itu sudah ada mie instan dan sekilo beras. Sisa uangnya masih ada tidak banyak jumlahnya. Tapi cukup untuk membeli minyak goreng seperempat kilo dan garam sebungkus. Malaikat kecil tak berdosa dan tidak pernah bisa memilih dari keluarga dengan status sosial yang bagaimana kondisinya. Yang dia tau kasih sayang kedua orang tuanya tidak pernah berkurang, walau keadaan ekonomi mereka sangat jauh di atas rata-rata kehidupan layak. 

"Bapak.... Bawa apa?" Mata bulat penuh kejujuran melihat bapaknya yang baru saja sampai di depan gerbong kereta langsung berlari, mendekati laki-laki yang sudah sejak dari tadi ditunggu. 

" Bapak bawa mie instant kesukaanmu dan ibumu," 

"Asik... Kita makan mie lagi," teriak bocah kecil itu girang. 

Di gedung tinggi, mewah  tidak jauh dari tempat tinggal mereka para pejabat negara yang katanya wakil rakyat. Tapi, tidak jauh dari kantor wakil rakyat ada rakyat yang hidup dengan mengandalkan penghasilan dari mengais-ngais tempat sampah. Mata para wakil rakyat itu terbuka tapi sejatinya buta. Hanya terbuka ketika meminta suara rakyat.

#nulisramadhan
#30harimenulis
#penajuara
#mata
#ramadhannberkisah

Bagikan

Artikel Terkait

Previous
Next Post »