Laki-Laki yang Menahan Rindunya



Sudah 6 jam laki-laki itu dalam penerbangan. Membawa segudang rasa yang berkecamuk dalam dadanya. Menuju tempat yang dirasanya sesuai untuk mengobati rasa kecewa terhadap keluarga wanita yang dicintainya. Jauh, tapi sejujurnya perasaan itu masih tetap sama.

Laki-laki itu yakin sekali di kota lain yang dituju akan ada pengobat luka hatinya yang menganga. Burung-burung gereja bercicit di pepohonan dekat rumah yang baru saja ia tinggali. Sesekali makhluk kecil itu bercengkrama dengan sesamanya. Mematuk-matuk dedaunan. Terbang rendah dan hinggap di pohon yang lain. 

"Sama sepertiku, terbang, pindah ke tempat yang lebih jauh," desisnya. Rumah minimalis yang ditinggalinya adalah rumah sahabat baiknya yang sedang bekerja di belahan bumi lainnya. Kini ia bertetangga dengan sepasang bule . Usianya sekitar 75 tahun. Namun masih tetap mesra. 

"Huft... Ini bukan tempat menenangkan. Burung gereja tadi seakan mengejek keadaanku. Tetangga yang usianya sudah terlalu senja duduk di taman belakang rumah, sambil bercengkrama mesra. Mereka seperti menghina keadaanku yang sedang terluka," dengusnya kesal. 

Batu-batu kerikil tersusun rapi di taman belakang. Mereka tidak punya rasa. Tidak pernah bersedih, menahan kesal amarah. Tapi  baginya sunyi cukup panjang dari pada keriangan. Atau tidak pernah merasakan keriangan sama sekali. Sepanjang hidupnya adalah; sunyi. 

Akhirnya laki-laki itu ingin seperti batu. Diam, tidak peduli, tidak ingin marah sesekali hanya tertawa tidak terbahak-bahak. Hatinya masih tetap kecut dan lukanya menganga. Meskipun tidak terlalu parah. 

Ia mulai berdamai dengan hatinya. Menerima segala sesuatu yang sudah terjadi atas dirinya. Walau sifat tidak peduli masih sedikit tersisa. Sikap diamnya masih tetap bertahan. Baginya amarah adalah kerinduan dengan kekasihnya.  

#30harimenulis
#ramadhanmenulis
#penajuara 
#day2
#amarah
#ramadhanberkisah

Bagikan

Artikel Terkait

Previous
Next Post »