Bagian 3 : Borobudur



Lima menit sudah berlalu. Bayang lelaki gondorong itu sudah benar-benar tidak terlihat lagi. Entah kemana ia pergi, aku tidak perduli. Aku ayunkan langkah menuju halte Trans Jogja yang berhadapan dengan Taman Pintar. Di halte sudah ramai penumpang dengan berbagai tujuan.  Aku menyodorkan beberapa lembar uang seribuan kepada penjaga tiket, lantas aku pun masuk ke ruang antrian, bergabung bersama beberapa orang yang sudah mengantri lebih dulu.  

Sepuluh menit. Bus Trans Jogja yang aku tunggu tiba. Kondektur bus mempersilahkan kami masuk.  Aku mengedarkan pandangan. Beberapa bangku kosong telah diduduki penumpang. Bangku khas disabilitas, orangtua dan ibu mengandung pun penuh diduduki oleh beberapa orang anak muda dengan gaya necis. Aku berdiri di dekat mba kondektur. Sekilas aku memperhatikan Mba yang menjadi kondektur bus Trans Jogja. Wajahnya ayu, pakaiannya rapi, baju dinasnya bagus. Sesekali sang kondektur bersuara mengingatkan penumpang sambil menyebutkan nama halte yang akan disinggahi.  

Satu dua penumpang turun, beberapa orang naik. Sang kondektur begitu sigap menolong para penumpang yang naik turun. Dua orang wanita yang aku taksir usianya mendekati usia 60 tahun, pakaian khas orangtua jawa, dengan jarit motif batik. Sungguh pemandangan yang tidak akan terlihat di kota tempat tinggalku. Aku masih berdiri di tempat yang sama, kuperhatikan bangku terlihat penuh. Dua orang wanita yang usianya sudah cukup sepuh ikut berdiri di sampingku.  

"Mas, mba bisa berdiri ndak? Ini tempat duduk disabilitas, orangtua dan ibu hamil," aku memberanikan diri untuk menegur anak muda yang duduk santai di kursi khas.  Akhirnya mereka berdiri dan dua wanita yang sudah sepuh pun duduk.  

**** 
"Jombor... Jombor... Jombor...," Sang kondektur sedikit berteriak mengingatkan penumpang bahwasannya sudah sampai di terminal Jombor.  Aku pun turun dari bus.  Melihat sekeliling terminal Jombor dan mencari angkutan tujuan Borobudur.  

Sekitar beberapa langkah dari perhentian Trans Jogja terlihat angkutan Jogja-Borobudur. Aku segera mendekat ke bus. 

"Ini tujuan Borobudur, Pak?" Tanyaku pada supir bus. 

"Iya, Mba," jawab Pak supir ramah.  

Aku segera naik. Di dalam bus yang mulai usang sudah hampir penuh penumpang. Rata-rata ibu-ibu pedagang di dalamnya. Terlihat bakul dan keranjang sayur serta beberapa bungkusan yang mereka bawa. Aku menikmati pemandangan disekeliling. 

Bus yang aku tumpangi hampir penuh dan segera berangkat menuju Borobudur.  Saat bus meninggalkan terminal sosok laki-laki dengan tas gandum lesuh berteriak mengejar bus. Akhirnya bus pun berhenti menunggu penumpang yang hampir ketinggalan.  

"Maaf mas," ucap kondektur 

"Iya ndak apa mas. Tadi saya ke toilet," jawab laki-laki itu. 

Kursi sudah penuh, tempat duduk yang jaraknya sempit membuat keadaan bus terasa sumpek.  Aku buka jendela selebar mungkin agar udara masuk dengan leluasa.  
"Permisi boleh saya duduk di sini?" Suara bariton mengagetkanku. Seraya aku melihat ke arah suara yang menegurku.  

"Boleh silakan duduk. Loh kamu?" 

"Eh kamu?" 

Kami saling terkejut. Saling pandang. Dunia itu begitu sempit. Lagi-lagi ketemu laki-laki gondrong ini lagi.  

"Mau kemana?" Tanyanya. 

"Mau ke Borobudur. Katanya tadi mau ketemu teman? Kok sudah ada di sini?" 

"Iya, sudah selesai urusannya. Sama dong saya juga mau ke Borobudur," jawabnya dengan mengembangkan senyuman ala pepsoden yang menampakkan deretan gigi putihnya.

Tidak terasa satu jam perjalanan dari terminal Jombor hingga ke terminal Borobudur diisi dengan diskusi menarik dengan lelaki gondrong, berkaca mata dan tas gandum yang warnanya mulai usang entah karena sudah terlalu lama atau karena setiap hari dibawa kemana-mana oleh pemiliknya.  Aku diam-diam mengagumi kecerdasannya.  

Langit Magelang mulai berawan, perlahan gelap menggelayut. Seakan-akan ribuan kubik air akan segera ditumpahkan. Memasuki terminal Borobudur semakin gelap dan hujan mulai turun. Aku dan lelaki itu berteduh di bawah gubuk warung yang hari itu tidak sedang berjualan. Anak-anak sekolah berseragam putih biru mendominasi persekitaran terminal. Satu dua anak bergaya preman terminal, dengan rokok yang menyelip di antara jemarinya.  Di sebelah gubuk tempat kami berteduh terlihat seorang ibu menggunakan caping,  di depannya sebuah panci besar dan di sana tertulis jenang sum-sum.  

"Yuk... ke sana," aku mengajaknya menghampiri pedagang jenang sum-sum. Ia segera mengikuti langkahku. Ojek pangkalan yang kami lewati menawarkan jasanya.

"Ini jualan apa ya, Bu? 

"Jenang sum-sum, Mba," 

"Jenang?" Aku sedikit terkejut. Di Medan, jenang adalah nama lain dari dodol. Sejurus kemudian si ibu membuka panci yang berisi dagangannya. Asap tipis dari jenang sum-sum menguar. Tercium aroma pandan. 

"Oh... bubur," jawabku. Si ibu tersenyum.  

"Pesan dua porsi ya, Bu," segera ibu itu melayani pesananku.  

"Kamu makan bubur kan? Orang vegetarian boleh makan bubur kan?"

"Boleh dong. Aku ngga makan nasi, ikan dan daging," 

"Oh, syukurlah," 

Sekejap mata sepiring bubur sum-sum hangat habis kami santap. Dan hujan pun mulai reda. Dua ojek kami pesan untuk mengantarkan ke komplek Candi Borobudur. Ternyata dekat saja dari terminal Borobudur ke komplek Candi. Suasana sekitaran komplek Candi masih basah. Beberapa genangan terlihat di sana. Sepanjang jalan menuju Candi banyak sekali pedagang pernak pernik souvenir yang bisa dijadikan oleh-oleh. Ada juga pedagang bakso dan jagung rebus hangat. Semakin mendekati Candi tour guide yang merupakan penduduk lokal menawarkan jasanya. Kami tidak menggunakan jasa tour guide. Lelaki gondrong yang di sampingku sudah cukup menjadi tour guide gratisan. Ia cukup tau sejarah tentang Candi borobudur yang menjadi bagian dari tujuh keajaiban dunia.  

Aku terkesima. Ternganga melihat kemegahan Candi yang dibuat tanpa menggunakan semen sedikit pun. Persekitarannya yang hijau membuatku lebih terkagum-kagum. Kami menaiki Candi. Banyak pelancong yang berfoto mengabadikan kenangan di sana. Aku memperhatikan susunan batu yang begitu menarik. Tidak seperti batu pada umumnya. Ukuran batunya cukup besar. Sungguh ini sangat menarik dan indah sekali. Tidak salah jika Candi Borobudur termasuk ke dalam situs tujuh keajaiban dunia. 

Semakin ke atas semakin menakjubkan. Di teras ke tiga terdapat tujuh puluh tiga stupa di tiga teras melingkar Arupadhatu. Salah satu dari stupa dipercayai jika tangan sepasang kekasih dimasukkan ke dalam stupa melalui lubang-lubangnya dan apabila menyatu maka kemungkinan akan berjodoh.  Banyak yang meyakini itu. Akhirnya stupa itu dijaga oleh pengurus candi karena selalu dipanjat oleh pelancong dan beberapa batunya roboh. 

"Jika Candi Borobudur adalah bagian dari tujuh keajaiban dunia, bisa jadi pertemuan kita juga keajaiban bukan kebetulan," gumamku sedikit lirih. Saat kami berada di teras paling atas candi sambil menikmati pemandangan yang luarbiasa indah. 

"Apa?" Tanyanya memastikan apa yang aku ucapkan. 

"Ngga apa," jawabku sambil mengalihkan pembicaraan.  

"Iya bisa jadi suatu keajaiban," jawabnya. Akhirnya kami saling pandang. Tertawa. Sejurus kemudian aku melemparkan pandangan melihat pemandangan gunung yang terlihat dari atas candi.  



Bagikan

Artikel Terkait

Previous
Next Post »

9 Comments

  1. Nunggu sambubgannya..asyiik dah

    Adventure romance

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tapi bahsanya masih berantakan ya mba. Nnti kalau ada waktu di perbaiki. Hihi

      Entah lah Si gondrong ngikuti aja haha

      Hapus
  2. Seperti apa penampakan kota jogja sekarang ya? Ko saya tiba-tiba pengen piknik ke borobudur setelah baca ini

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makin cantik, Mba. Wah perlu tu ksna lagi mba hehee

      Hapus
  3. Jiaaah enDingnya salting. hihihI
    Gelar tikar ah sambil makan kacang rebus, nunggu lanjutannya..

    BalasHapus
  4. bisa jadi pertemuan kita adl keajaiban dunia kedelapan..

    BalasHapus