Bagian 2 : Angkringan Nol Kilometer


Meskipun sudah bangun dari adzan subuh berkumandang, tetap saja pagi pergi begitu cepat. Sang raja siang sudah mulai garang di atas cakrawala. 

Untung Baju, tas, sepatu, buku dan pulpen telah aku persiapkan sejak malam. Jika tidak, habislah aku akan telat ke Nol Kilometer untuk menemui seseorang.  

Dari homestay aku sengaja memesan ojek online agar bisa tepat waktu sampai di depan gedung Bank BNI. Padahal dari tempatku menginap ke gedung Bank BNI dekat saja hanya 20 menit berjalan kaki. Tapi, pagi ini aku sudah terlambat. 

"Gedung Bank BNI ya, Mas," ucapku sambil menggunakan helm. 

Kota pelajar ini jika hari kerja jalanan selalu macet, rasanya Jakarta sudah mulai pindah secara perlahan. Kendaraan berjubel, asap kenalpot kendaraan mengangkasa, sehingga langit pagi tak biru lagi warnanya. Angkutan umum juga seperti balapan mobil berebut penumpang. 

"Oke,  Mba," 

"10 menit kita bisa sampe sana kan, Mas," 

"Bisa kalau ngga macet, Mba," 

*** 

Aku ada temu janji dengan seorang penulis buku filsafat dan esai dan ia juga pernah menjadi tamu dalam acara Ubud Writers and Reader Festival (UWRF). Aku suka sekali dengan tulisannya. 

"Aku sudah di depan gedung Bank BNI," kuhantarkan pesan kepada seseorang yang akan aku temui. 

"Aku sudah setengah jam yang lalu sampai di sini," balasnya. 

"Apa? Setengah jam lalu. Kita kan janjinya jam 8 pagi," jawabku memastikan. 

"Ndak apa. Aku biasa datang lebih awal jika ada janji. Kamu pakai baju apa?," 

"Coklat jilba hitam," jawabku membalas pesannya. 

"Aku sudah nampak kamu. Kamu berdiri dekat lampu merah kan?,"

"Iya," jawabku singkat.  

"Assalamualaikum," sebuah salam menyapaku.  

"Hai... Kamu... Kan...," aku masih tidak percaya apa yang aku lihat di depanku.  

Lantas sosok pria di depanku mengeluarkan handphone dari dalam saku celananya. Entah siapa yang akan ia hubungiku. 

"Treeerrtt... Treeerrtt... ," handphone yang sengaja tidak aku beri nada tiba-tiba bergetar. Dia tersenyum ketika aku melihat layar handphonku.  

"Jadi... Kamu to yang mau aku jumpai," kami tertawa. Aku Seakan tidak percaya kalau laki-laki gondrong, berkacamata yang aku temui di toko buku bekas kemaren yang akan aku temui pagi ini.  

"Kenapa? Kok bengong?," dia tersenyum sambil menyingkirkan rambutnya yang menutupi sebagian mukanya.  

"Iya, aku heran saja. Padahal kita kemarin ketemu. Tapi ngga kenal," 

"Iya sebelumnya kita kan memang tidak pernah kenal," ia tersenyum penuh arti. 

"Yuk, kita ke sana saja biar lebih enak ngobrolnya. Pasti belum sarapan kan? Kita sarapan dulu," ia menunjuk warung angkringan di seberang jalan yang berhampiran toko-toko buku area Nol Kilometer.  

**** 

Kota gudeg dengan segala keramah tamahan penduduk lokalnya meskipun berpuluh ribu pendatang memadatinya. Kota ini selalu memberikan kenyamanan, memberikan kenangan indah, mempertemukan dengan orang-orang baik. Dan satu hal yang paling aku suka adalah makanannya enak-enak dan harganya murah-murah. Sego kucing satu bungkus masih dua ribu rupiah. Nikmat yang mana lagi yang kamu dustakan ketika duitmu di kantong tinggal lima ribu, perut lapar lantas dibelanjakan di angkringan dapat sego kucing, tempe dan tahu bacem serta teh panas. Semua itu hanya bisa di dapat di kota ini. 

"Kamu mau pesan apa?," tanyanya ketika aku masih dalam kebingungan ternyata ia yang menulis buku-buku itu. 

"Iya aku pesan apa ya...sego kucing dan teh tawar hangat saja deh," 

Aku mengambil satu bungkus sego kucing dengan lauk iwak bandeng yang sudah ada di depanku.  

"Kamu ngga sarapan?," 

"Aku minum saja. Vegetarian," jawabnya

"Oh vegetarian. Pantesan kur...," 

"Terusin saja. Kurus maksud kamu kamu kan? Iya aku memang kurus dari kecil. Maklum anak jalanan," ia tertawa. 

" Maaf aku keceplosan," aku jadi tidak enak hati karena keceplosan. 

"Ngga apa tenang saja. Emang kenyataanya gitu," ia tertawa. 

Pagi yang menyenangkan buatku. Selain dapat makan gratis juga dapat ilmu dari seorang penulis yang menurutku tulisannya itu sangat apik sekali. Dan ia ternyata begitu rendah hati. Menceritakan segala pengalaman dan membagi ilmu menulisnya.  

Sepagi itu kami sudah bercerita panjang lebar tentang dunia literasi. Meskipun karyanya belum banyak, namanya belum terkenal layaknya penulis-penulis yang bukunya sudah terjual ribuan bahkan jutaan eksemplar. Tapi, ilmu menulisanya tidak kalah dari mereka.  

"Kita pagi ini tidak bisa lama-lama, saya ada janji juga dengan teman-teman,"

"O... Iya... Maaf sudah merepotkanmu pagi ini. Terimakasih atas waktu dan ilmunya. Boleh minta tanda tangan di buku ini," aku menyodorkan pen dan buku karyanya. 

Tanpa basa basi ia menandatangani dan menuliskan kalimat di buku itu.  

" Angkringan Nol Kilometer kita bicara buku-buku, Yogyakarta-Lensa Tua" 

Begitulah kalimat yang ia tulisakan. 

"Oia nanti kalau ada waktu jam 6 sore datang ke Bukit Bintang kita mengeja kata dan bicara sastra. Pokoknya ngomongin dunia literasi," 

"Insya Allah," 

"sampai ketemu nanti. Assalamualaikum," ia berpamitan. lantas pergi meninggalkanku di angkringan Nol Kilometer. Aku memerhatikan langkahnya yang kian jauh dan hilang di tikungan jalan. 

#cerpen #fiksi #lensatua #angkringannolkilometer










Bagikan

Artikel Terkait

Previous
Next Post »

6 Comments

  1. Penasaran dengan kelanjutannya.
    Kok gak pakai nama tokoh, Wie?

    BalasHapus
  2. Siapa sih nama penulis gondrong itu?

    BalasHapus
  3. uu, aku kepo sama sang penulis gondrong, hehe

    BalasHapus
  4. Penasaran sama penulis gondrong itu. EH tapi bmtar lagi aku k jogja. Hahahay

    BalasHapus
  5. " Maaf aku keceplosan," aku jadi tidak enak hati karena keceplosan.

    Keceplosan itu biasanya jujur hihi. Jadi penasaran sama si gondrong.

    BalasHapus
  6. Yogyakarta.., kota istimewa dg sejuta kenangan.

    Penasaran dengan si gondrong kak.. ^^

    BalasHapus