Resensi : Annual Short Story Collection Kompas 2015


Judul : Annual Short Story Collection Kompas 2015

Penulis : Agus Noor, Ahmad Tohari, AK Basuki, Anggun Prameswari, Budi Darma, dkk.

Penerbit : Penerbit Buku Kompas

Cetakan Dan Tahun Terbit : Cetakan Pertama, Januari 2016

Tebal : xii + 540 halaman

Dimensi : 14 x 21cm

Buku kumpulan cerita pendek (cerpen) KOMPAS 2015 memuat 51 cerita. Dalam buku kumpulan cerpen ini sebagian besar cerita yang diangkat tentang lokalitas, politik, sosial dan mistis.

Cerita-cerita yang dihadirkan penulis begitu dekat sekali dengan kehidupan di sekitar kita. Namun, seringkali kita abai ataupun kita tahu namun merasa tidak tahu.

Dalam buku ini ada beberapa cerpen keritik sosial begitu mengena sekali. Cerpen dengan judul 'Anak InI Ingin Mengencingi Jakarta' karya Ahmad Tohari, penulis buku Ronggeng Dukuh Paruk.

“’Kencing dekat punggung emak, tidak boleh. Kencing dekat buntalan pakaian, juga tidak boleh. Yang boleh di mana, Pa?’

Si ayah tersenyum. Wajahnya sungguh menampakkan wajah manusia bebas-merdeka, khas wajah warga kehidupan pinggir rel kereta api.

‘Nah, dengar ini! Kamu boleh kencing di mana pun seluruh Jakarta; di Menteng, di pinggir Jalan Thamrin, di lapangan belakang Stasiun Gambir, di sepanjang gili-gili Kebayoran Baru, juga boleh kencing di Senayan. Dengar itu?’” (Anak ini Mau Mengencingi Jakarta? – Ahmad Tohari)

Setiap adegan yang ditampilkan dalam cerpen ini berhasil memotret penggalan kehidupan masyarakat yang terpinggirkan di megahnya Ibu Kota (Jakarta). Penggambaran cerita seorang bapak yang menyuapi anaknya dengan mi instan begitu nyata.

Metafor "mengencingi" begitu sesuai. Dengan tokoh orang pinggiran yang sadar atas posisi dirinya yang tidak dapat melawan penguasa negerinya sendiri. Kata mengencingi sebagai bentuk amarahnya yang terselubung. Namun sedikit yang terasa mengganjal dalam cerpen ini. Dalam dialog dari cerita pertama menggunakan panggilan "Bapa" namun di tengah cerita menjadi panggilan "ayah."

Ada pula cerpen dengan judul 'Basa-Basi' karya Jujur Prananto.

“Kenapa kamu kesal? Kenapa harus marah?” tanya Ratih.

“Mendoakan orang yang sakit kan bagus.”

“Bukan cuma bagus, tapi harus. Masalahnya, apakah yang mereka ucapkan itu benar-benar mereka jalani?

Apa pernah kegiatan berdoa untuk kesembuhan bu Siska itu benar-benar mereka lakukan, entah itu di rumah, di masjid, di gereja, di wihara atau di mana

pun mereka berada? Atau mereka sekadar mengetikkan kata-kata di keyboard smartphone dan memencet tombol send untuk menyenang-nyenangkan bu Siska? Aku yakin yang mereka lakukan basa-basi belaka!!!” (Halaman 185)

“KENAPA dik Jumardi keluar dari grup?” tanya bu Siska, pada hari pertama ia masuk kantor setelah beberapa hari dirawat di rumah-sakit.

“Saya tidak tahan lagi terlalu banyak membaca ucapan basa-basi.”

“Ucapan mana yang Anda anggap basa-basi?”

Awalnya Jumardi terdiam, tapi akhirnya

memutuskan untuk berterus-terang, bahwa segala puja￾puji dan doa terhadap bu Siska dan keluarganya itu semuanya basa-basi semata. Lama bu Siska terdiam, lalu memejamkan matanya yang membasah. (Halaman 186)

Tokoh Jumardi dalam ceerpen Bass-basi digambarkan sosok yang tidak suka berbasa-basi, terlebih lagi dengan atasannya yang sering sekali kita kenal dan dengar istilah carmuk atau cari muka. Bagi Jumardi basa-basi hanya sekedar kekonyolan dalam masyarakat. Ide cerita ini sangat konsisten dari pembukaan cerita sampai akhir cerita membahas basa-basi. Dengan kronologi cerita atasan dan karyawannya.

Basa-basi seperti ini seringkali kita jumpai dalam kehidupan kita. Karena basa-basi ini sudah menjadi budaya di masyarakat. Namun tak jarang basa-basi isinya hanya ikut-ikutan saja ataupun kebohongan belaka.

Dua cerpen ini menggambarkan keritik sosial dengan cara halus dan terang-terangan. Karena hal ini dekat sekali dengan kehidupan kita. Seperti cerita yang ditulis Ahmad Tohari menggambarkan keritikan, amarah wong cilik yang tidak punya kekuatan untuk melawan ketidak adilan penguasa, sehingga kemarahan itu hanya berupa umpatan yang dimengerti dirinya sendiri.

Begitu juga dengan cerpen basa-basi. Menggambarkan kebiasaan kita masyarakat suka berbasa-basi. Meskipun hanya sekedar ikut-ikutan belaka. Sesekali kita memang harus mengasingkan diri, atau keluar dari kehidupan yang sekedar basa-basi.

Tidak hanya dua cerpen itu saja yang menarik perhatian saya. Masih banyak lagi cerpen yang memuat pesan mendalam dan sangat bagus dibaca. Meskipun satu dua cerita ada yang begitu eksplisit isinya.

Tulisan ini diikut sertakan pada program one day one post Blogger Muslimah Indonesia

#odopokt3 #bloggermuslimahindonesia #onedayonepost #odop 






Bagikan

Artikel Terkait

Previous
Next Post »