Pixabay |
Bukan tanpa alasan ia seperti itu. Baginya informasi itu penting makanya potongan surat kabar yang ditempel di dinding rumah adalah berita-berita yang menurutnya penting untuk dibaca banyak orang. Bukan ia tak sanggup untuk membeli buku, cuma hanya ia tidak ingin berdosa membeli buku tetapi mengurangi jatah kebutuhan keluarganya. Saat itu toko buku di kota ia tinggal juga masih terlalu minim.
Pernah suatu hari ia mendapat info tentang bedah buku dari teman pengajiannya. Bedah buku itu bertepatan dengan hari libur. Lelaki itu mengajakku untuk menghadiri bedah buku tersebut. Aku tanpa babibu langsung saja menyetujui ajakannya. Saat itu usiaku masih 11 tahun. Anak kecil yang serba ingin tau. Dengan sepeda kesayangannya lelaki itu memboncengku, mengayuh pedal sepeda dengan penuh semangat. Berbekal air mineral isi ulang dan jajanan sebagai senjata agar aku tidak merengek minta pulang sebelum acara selesai. Ternyata senjata itu cukup ampuh membuatku duduk tenang. Sebagai imbalan ia membelikanku buku doa sehari-hari yang isinya doa makan, doa sebelum tidur, doa bangun tidur, doa masuk mesjid dan lainnya.
Dari sana semangat bacaku meningkat. Hampir setiap hari aku meminjam buku-buku diperpustakaan sekolah, meskipun sebelumnya juga sering meminjam namun tiap bulan paling hanya 2-3 buku yang aku pinjam. Memasuki SMP aku ikut dalam tim majalah dinding sekolah. Di sana aku mulai berani menulis puisi untuk dipublis, menulis cerpen, dan aku mulai menulis surat sahabat yang dikirim ke teman-teman di Aceh dan Jawa. Satpam sekolah menjadi langgananku untuk dititpkan surat-surat itu dan dimasukkan dalam kotak pos.
***
Kini rumah kayu setengah batu milik lelaki itu sudah menjadi istana yang lebih kokoh dan besar. Banyak ruangannya. Tapi rumah itu kini hanya dihuni oleh lelaki itu, istri dan anak bungsunya. Ruangan-ruangan yang dibangunnya lebih sering kosong, sesekali saja diisi oleh penghuninya saat pulang.
Saat aku pulang, kuperhatikan sekeliling rumah itu. Penuh dengan kenangan masa lalu. Dinding-dinding kayu yang menjelma menjadi majalah dinding berlegar-legar di ingatanku. Terlihat tumpukan-tumpukan buku yang belum tersusun sempurna di raknya. Berkotak-kotak buku yang kukirim dari negeri Pakcik Najib sebagian masih di dalam kotak tak tersentuh. Sesekali anak-anak, sepupu, tetangga datang ke rumah untuk meminjam buku. Kulihat lelaki itu tersenyum ketika anak-anak berebut buku bacaan. Aku menebak-nebak isi pikirannya. Pasti lelaki itu sedang mengingat masa dulu, ketika ia menempel-nempel surat kabar di dinding rumah yang mungkin saja baru hari itu ia merasa apa yang dilakukannya adalah hal yang lucu. Tapi bagiku menempel potongan surat kabar di dinding rumah itu adalah hal yang unik.
Aku selalu merekam setiap pembicaraannya. Dari apa yang aku dengar dari serentetan ceritanya ia punya harapan dan cita-cita yang besar. Ia ingin menjadikan rumahnya tempat menyimpan kenangan tentang anak-anaknya kecil, tempat bermain sambil belajar ketika cucu, anak tetangga datang ke rumahnya dan ia bermimpi rumahnya akan menjadi tempat tumbuhnya peradaban yang lebih baik. Kini rumah kertas yang dulu akan menjadi rumah kertas dengan koleksi buku-buku yang insya Allah jumlahnya semakin bertambah dari waktu ke waktu. Siapa saja boleh menikmati buku-buku itu dengan gratis.
Jika ingin tau siapa laki-laki itu dia adalah ayahku. 😊
ini kisah nyata mak??
BalasHapusIya kisah nyata, Bet. ☺
Hapus