Pagi seperti biasanya. Tanah Papua selalu di sinari matahari terlebih dahulu, udara yang segar. Namun tidak dengan Mazmur dan kawan-kawannya yang selalu menanti matahari datang, tapi tidak kunjung datang. Matahari itu adalah Guru!.
Sudah 6 bulan lamanya Mazmur selalu menunggu guru pengganti di lapangan terbang tua satu-satunya di kampung itu. Kampung meraka berada di Pegunungan tengah Papua, yang cukup sulit untuk dijangkau. Pagi itu di lapangan terbang tua Mazmur menatap ke langit biru, berharap ada pesawat mendarat membawa guru pengganti. Namun guru pengganti tak kunjung datang, Bapak Yakob yang memberitahu bahwa guru pengganti tak akan datang pada hari itu. Mazmur berlari ke sekolah menemui teman-temannya yang sudah menunggu di dalam kelas. "Guru pengganti belum juga datang, kita nyanyi saja." Karena guru pengganti tak akan pernah datang mereka mencari pelajaran di alam dan lingkungan sekitar. Lewat pendeta Samuel, Ibu dokter Fatimah, Om ucok, Om Jolex mereka dapat banyak pengetahuan.
Perang antar suku tidak bisa dihindari. Kematian Blasius Ayah Mazmur sampai pada telinga Michel, adik Blasius yang sejak kecil diambil mama jawa yang tinggal dan belar di Jakarta. Mendengar berita itu Michel dan Vina istrinya segera terbang ke Papua untuk menyelesaikan masalah ini. Namun tidak segampang yang dipikirkannya. Alex adik bungsunya menentang pemikiran modren dari Michel.
Bagi Alex, Perang! Itu jalan satu-satunya untuk membalas dendam atas kematian Blasius. Orang dewasa bisa saja bertikai. Namun tidak bagi Mazmur, Thomas dan ketiga sahabatnya.Walau kampung mereka bermusuhan, Ayah Mazmur terbunuh oleh Ayah Agnes tetapi mereka berusaha untuk mendamaikan kedua kampung ini.
#odop #bloggermuslimahindonesia