Pada Garis Cakrawala Memanggil Cinta

Dokpri

Suhu mencapai 30°C. Matahari begitu terang meskipun hampir mendekati kaki cakrawala. Semakin petang pengunjung pantai kian ramai. Muda-mudi, orangtua dan kanak-kanak. Tampak sepasang, dua pasang muda mudi memadu kasih. Ntah sudah berstatus suami istri atau hanya sekedar dalam jalinan kasih anak masa kini.

Aku memandang ke pantai lepas. Airnya pasang, namun anak-anak berlari riang, mandi tanpa busana di badannya. Ada pula yang berlompat tanpa papan lompatan, menirukan perenang internasional dalam ajang perlombaan paling bergengsi. Di sebalah kiri, Aku melihat sekerumunan orang. Bermain pasir. Di sebagain yang lain orang-orang sibuk berswafoto di spot yang disediakan untuk menarik pengunjung.

Kulihat lagi lautan yang airnya coklat susu. Tampak satu dua kapal nelayan hilir mudik di sana. Suara mesinnya bak klotok membelah dinding rawa Kalimantan. Beberapa tiang terpancang di kapal nelayan. Seperti tiang bendera. Bukan kain merah putih terpasang di ujunya. Tetapi diletakkan kain berwarna warni. Berkibar lah kain-kain itu dihembus angin pantai. Bapak tua dan anaknya yang bertelanjang dada. Di atas kapal nelayan yang sangat sederhana. Menebar doa, menjaring pinta.

Sang saga makin merona. Para pengunjung semakin menikmatinya. Kata mereka "menunggu senja." Ombak semakin menggulung ke bibir pantai. Senja yang mereka tunggu hampir tiba. Para nelayan pun kembali ke peraduannya ketika laungan azan memanggil-manggil para hambaNya, untuk pulang bersujud kepada pemilik cinta.

Bagikan

Artikel Terkait

Previous
Next Post »

4 Comments