Bersegeralah Jangan Pernah Menunggu Sempurna

Masa lalu bukan untuk dilupakan, tapi jadikan pengingat untuk berubah menjadi pribadi yang lebih baik



"Tak ada yang benar-benar setia menunggu di hadapan selain kematian."

Seperti berada pada lorong waktu ketika menatap diriku sendiri. Memori belasan tahun silam berlenggak lenggok di hadapanku. Masa dimana diri masih begitu bebas dengan rambut terbiar ditonton beratus bahkan beribu pasang mata. Betis masih terbuka dengan leluasa.

Saat Tepat dan Terbaik 
Menjadi anak baru di SMA merupakan hal yang menyenangkan. Meskipun ospek kampungan masih saja berlaku waktu itu. Aku degan penampilan baju kemeja putih bersih dengan tulisan OSIS di saku baju sebelah kiri, dasi abu-abu menjulur hingga perut, rok sebatas lutut. Tas dan sepatu baru juga tidak ketinggalan. Padahal sebelum mengenakan semua perlengkapan sekolah baru ada kisah sedikit tegang antara Aku, ibu dan abah.

Ibu dan abah menyuruhku untuk memakai pakaian kemeja putih, rok abu-abu panjang serta jilbab. Ceramah panjang lebar seperti khutbah jumat pun terlontar dari bibir abah yang selama ini lebih banyak diam namun tetap memperhatikan. Dari penuturan ayat kewajiban berjilbab hingga hukuman tidak menggenakan jilbab juga menghiasi muqadimah abah. Tapi, Aku masih saja tidak tergerak untuk melakukannya. Panas dan gerah menjadi kambing congek untuk membebaskanku. Klise sekali rasanya alasan seperti itu menjadi tameng untuk mempertahankan ketidak mauanku untuk berhijab. Akhirnya cekcok mulut dengan ibu pun berlangsung.
Ibu dan abah berunding. Hasil dari  rundingan mereka akhirnya sepakat mengalah untuk sementara. Aku merasa senang karena menang meskipun sementara. Setiap hari, setiap pagi, ketika aku berpamitan untuk sekolah ibu selalu berpesan sambil mengusap kepalaku "kalau mau atau kepikiran untuk berjilbab bilang ibu ya, kak." Setiap hari, setiap pagi saat Aku hendak ke sekolah pesannya selalu sama tidak pernah absen dan susunan kalimatnya pun tidak berubah. Aku hanya meng-iyakan.

Sebulan berlalu. Aktifitas sekolah sudah mulai normal. Perasaan suka duka yang tertinggal waktu  ospek juga mulai membaik. Tapi, dari ospek itu ada satu kegiatan  yang tidak pernah aku lihat saat SMP sehingga menarik rasa ingin tahuku untuk masuk kedalamnya. Almaklum waktu SMP aku sekolah di sekolah mayoritas China. Sebagai siswi yang aktif saat di  SMP hingga kebawa ke SMA. Memilih memilah kegiatan ekstrakulikuler. Akhirnya kegiatan rohis menjadi salah satu pilihan.

Setiap jumat dan sabtu selalu ada kajian di mushola sekolah. Karena sudah niat dan pamit dengan ibu sehabis pulang sekolah akan ada pengajian di sekolah maka pulang agak lambat. Ibu pun memberi ijin dan memberi bekal makan siang takut anaknya kelaparan. Kajian hari pertama yang datang cukup ramai. Hampir semua siswi yang datang memakai jilbab, Aku? Jelas masih kemeja pramuka lengan pendek, rok coklat sebatas lutut. Tidak ada yang aku kenal, tau wajah tapi tidak tau nama. Ingin menegur sungkan. Akhirnya aku duduk di sudut mushola, bersila dan lutut tertutup sajadah.

Kakak kelas menegurku. Bertanya namaku. Selesai kajian mendekatiku. Kami ngobrol seputar kajian hari itu dan rasanya kami sudah cukup dekat sekali. Seperti sudah sering berkomunikasi. Dari saat itu aku rajin mengikuti kajian. Sesekali absen karena sesuatu yang tidak bisa ditunda. Saat memasuki bulan ke-3 menjadi siswi SMA hatiku tergerak untuk berhijab. Tanpa pikir panjang aku memberi tahu niatku kepada ibu dan abah. Sumringah, lengkung senyuman menghiasi bibir keduanya. Keesokan harinya baju lengan panjang, rok panjang serta jilbab lebar yang aku minta sudah tersedia di lemari.

Cibiran
Hari pertama Aku mengenakan jilbab, teman-temanku heran. Tidak sedikit pujian hingga cibiran. Ada yang bilang bagus, cantik, sholehah aku hanya tersenyum manis. Tapi, di balik itu semua tidak sedikit ucapan sinis yang singgah ke telinga. Bahkan teman sekelas yang cukup baik denganku menceritakan yang membuat aku tersenyum getir. "Wie, kamu pakai jilbab segitu lebarnya apa ngga panas? Kalau mau pakai jilbab pun yang wajar saja. Jangan terlalu lebar begitu. Sholat juga masih senin - kamis. Jadi Sesuaikan lah sama penampilanmu" kata Raisa, sambil tersenyum dan teman-teman yang ada di situ ikut tertawa.

Aku tidak begitu peduli, tetapi ada rasa yang membuat dada sesak dan sebak. Teringat saat kajian ustadzah Vivi tentang kisahnya berhijrah. Bahkan orang tuanya sendiri tidak mendukungnya untuk berhijrah dengan pakaian syari. Kisah ustadzah Vivi bagaikan cambuk semangat untuk aku tetap menjalankan hijrah, menutup aurat dengan pakaian syari. .

Tetap Terus Belajar Agama 
Setiap hari selalu ada saja kata-kata sumbang seputar penampilanku. Aku mulai terbiasa. Namun saat kajian tiba aku tak kuasa untuk menceritakan apa yang aku alami. Kakak-kakak kelas selalu merangkulku. Dari saat itu aku terus belajar mendalami ilmu agama. Semakin aktif dan giat mengikuti mentoring dan majelis ilmu.

Lama kelamaan akhirnya aku mulai nyaman. Kata-kata sumbang seakan menjadi kata semangat untuk tetap belajar dan istiqomah. Meskipun pernah suatu hari pelajaran olahraga. Aku merasa gerah karena olahraga di panas terik, hingga Akhirnya membuatku hampir pingsan, muka sudah pucat. Temanku menyarankan untuk aku membuka jilbabku agar bisa lebih adem dan suhu tubuhku cepat normal. Namun aku bersikeras tidak mau membukanya. "Sudah setengah mati, muka pucat pasi juga ngeyel suruh buka jilbab," begitu kata-kata rungutan temanku. "Tidak ada yang benar-benar setia menunggu di hadapan selain kematian. Jadi, jika sudah ajalku namun auratku terbuka ditonton ratusan pasang mata maka sia-sia lah hijrahku," ucapku lirih sambil mengusap minyak gosok ke keningku. Mereka tertawa mengatakan aku berceramah. "Iya ustadzah Dewi Mariyana," sambil tertawa. Entah apa yang lucu dari ucapanku.

Semoga hidayah ini, proses hijrah ini tetap menjadi jalan istiqomah untuk selalu dekat pada jalan-Nya, menuju keridohan Nya.

Proses hijarah itu tidak sulit, yang sulit mempertankannya. Syarat hijrah juga bukan menunggu diri ini sempurna. Tetapi, syarat hijarah adalah bersegera. Karena manusia makhluk yang tak luput dari cacat cela. Jika menunggu sempurna hingga badan dibungkus kafan kita tetap hamba yang tidak pernah sempurna.

Dengan berhijrah memakai pakaian syari aku menemukan arti kemerdekaan yang sesungguhnya terhadap diriku sendiri. Tidak takut diganggung mata-mata liar di luar sana yang mengukur dari fisik semata. Punya identitas utama sebagai muslimah. Semoga cerita perjalanan hijrah ini ada hikmah dan menjadi penyemangat teman-teman untuk sama-sama menguatkan dalam keistiqomahan. Jazakillah.

NB: Nama teman-teman yang aku sebutkan bukan nama sebenarnya untuk menyamarkan identitas mereka. Karena saat ini mereka pun sudah berhijrah. Alhamdulillah

Bagikan

Artikel Terkait

Previous
Next Post »

5 Comments