Sahabatku Loper Koran #1

Dewieajaa.blogspot.com


Hari masih terlalu dini. Jiwa-jiwa masih terlena dibalik selimut. Jalan belum bergeliat. Temaram lampu-lampu masih berpijar menyinari ruang kota. Bocah kecil pelontos dengan baju kumalnya berjalan menyusuri ibukota tanpa alas kaki menuju tempat pengepul Koran. Masih terlalu kecil ia menggadaikan hidupnya untuk membantu ekonomi keluarganya.

Raja siang muncul kepermukaan. Menunjukan kegagahanya. Asap dari knalpot terbang ke udara, suara klakson seperti trompet tahun baru saling bersahutan. Ray, bocah kecil yang sering kuperhatikan. Berkumpul di prempatan jalan dengan teman-teman seprofesinya dan para pedagang asongan. Muka polosnya memelas iba kepada para supir kendaraan.

"Koran... pak. Koran...berita terhangat pagi ini, pak" teriaknya di perempatan jalan yang sedang lampu merah. Ia tak sungakan mengetuk jendela mobil-mobil mewah menjajakan korannya. Kadang hanya lambayan tangan yang ia dapat menandakan sang empunya kendaraan tidak mahu membeli koran. Kadang pula, ia sering mendapat makian dari supir-supir metro mini.

Ray, hanya tersenyum getir. Ketika mendapat makian. Hidup bukan sekedar cerita keindahan, melainkan ada luka, dan duka yang menganga yang masih meneteskan darah. Tapi, perjuangan harus dilanjutkan. Ketika lampu traffic kembali hijau, Ray dan kawan-kawan menepi dan menunggu lampu traffic merah kembali. Begitulah setiap hari kegiatan mereka.

Aku dekati mereka. Berbincang banyak hal. Hingga akhirnya aku menanyakan prihal kehidupan keluarga mereka dengan hati-hati. Sungguh sangat mengiris hati. Cerita yang aku dengar dari Ray, dia hidup di rumah singgah begitu pula adiknya. Ketika kutanya di mana ibu bapaknya. Seakan Ray menerawang jauh. Mengingat sesuatu masa lalunya.

"Ibuku sudah pergi dengan lelaki hidung belang. Bapaku kaki judi yang tidak pernah kembali ke rumah kami," jawab Ray sambil mengusap keringat di dahinya.

Lampu traffic sudah merah kembali, sekumpulan anak jalanan melakukan pekerjaan mereka. Ada yang mengamen, berjualan koran, dan ada juga pedagang asongan.

Begitulah kehidupan mereka. Di jalanan dengan berbagai latar belakang. Yang semuanya terhimpit masalah ekonomi dan kehidupan keluarga yang tidak harmonis menuntut mereka lebih berdikari. Aku masih memerhatikan mereka dari halte yang tak jauh dari lampu traffic. Dalam fikiranku masih banyak yang ingin kutanyakan. Mungkin hari ini kurang tepat untuk menanyakan semua itu.

"Ray... kemari sebentar," aku berteriak memanggil bocah kecil itu.

"Ia...ada apa?"

"Berita apa yang paling hot hari ini?" Tanyaku.

"Berita matinya Suyono di tangan Densus 88," sambil membalik-balik koran dagangannya.

"Aku beli satu korannya yang ini," sambil menunjuk koran yang ada di tangan Ray. Aku sodorkan uang selembar dua puluh ribuan.

"Bang, belum ada kembaliannya" Ray melihat kantong plastik yang ia sulap menjadi tempat penyimpanan uang dagangannya.

"Sudah ambil saja kembaliannya. kapan-kapan aku boleh main ke rumah singgah kamu?" sambil memerhatikan wajah Ray yang kusam karena asap kendaraan.

"Ia datang saja. Kak Tora pasti senang kalau abang datang" jawabnya dengan senyum mengembang.

"Siapa kak Tora" tanyaku penasaran.

"Dia pengurus kami di rumah singgah. Sudah datang saja nanti abang juga tahu siapa dia. Terimakasih ya, aku mau kembali menjajakan koran" Ray pun berlalu.

***

Semenjak hari itu, aku sering mendatangi mereka di rumah singgah. Jika, melihat keadaan mereka sangat menyayat hati. Tora sudah menceritakan berbagai latar belakang anak-anak yang tinggal di rumah singgah. Ternyata kebanyakan dari mereka adalah anak-anak yang orang tuanya bekerja sebagai pemuas nafsu binatang lelaki hidung belang. Tora lah yang menjadi pengurus rumah singgah itu. Mengurus berbagai keperluan anak-anak di rumah singgah. Banyak juga darmawan yang sering memberikan sumbangan di rumah singgah. Cukup untuk tambah-tambah biaya makan anak di barak.

"Anak-anak disuruh sekolah. Tapi, mereka malah memilih kembali ke jalanan" tutur Tora.

"Kenapa mereka memilih jalanan, ketimbang sekolah?"

"Alasan mereka selalu sama. Buat apa sekolah. Kami hanya butuh uang. Kalau Ray selalu beralasan biar ia yang mencari uang untuk biaya sekolah adiknya" Tora menjelaskan panjang lebar.

Sekitar 20 anak yang tinggal di barak. Tetapi hari ini barak terlihat sepi. Sebagian ada yang sekolah, sebagian lagi dari pagi sudah turun ke jalanan. Aku lihat anak-anak bermain di kolam lele depan barak. Kolam lele itu merupakan ternak mereka agar mereka bisa makan besar dengan menikmati lele sepuasnya ketika panen.

"Bagaimana kalau setiap minggu aku membuat kelas di sini. Mengajar anak-anak" ku utarakan niat kepada Tora.

"Kamu tidak keberatan? Waktu kamu tidak terganggu?" Tora seakan tidak percaya atas niatku.

"Tenang sajalah, sabtu dan minggu aku tidak banyak kegiatan" jelasku meyakinkan Tora.

Bersambung...

Mata sudah nggak kuat untuk mengetik. 😀

#onedayonepost
#menulissetiaphari
#menulismenandakankitamasihhidup

Bagikan

Artikel Terkait

Previous
Next Post »

21 Comments

  1. Ide ceritanya menarik ..
    Penasaran lanjutannya mbk Dewi

    BalasHapus
    Balasan
    1. Idenya trinspirasi dari komunitas peduli anak marjinal (kopaja Jakarta)

      Hapus
  2. Kasihan Ray, harus menanggung beban berat hidupnya... :-s

    BalasHapus
  3. Oke sip, akan ku tunggu kelanjutannya....

    BalasHapus
  4. Sedih ya.. hidup itu penuh perjuangan yah mbak. True story kah?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Fiksi Mba. Tapi,uda aku lihat lngsung Jakarta itu tak seindah cerita2

      Hapus
  5. "Si Budi kecil kuyup menggigil
    Menahan dingin tanpa jas hujan
    Di simpang jalan Tugu Pancoran
    Tunggu pembeli jajakan koran..."

    Sountracknya😀

    BalasHapus
    Balasan
    1. Soundtrack nya lagu last child - Depresiku hehe

      Hapus
  6. Kutunggu kelanjutannya mbak... duh gimana nasib Ray selanjutnya?

    BalasHapus
  7. Kutunggu kelanjutannya mbak... duh gimana nasib Ray selanjutnya?

    BalasHapus
  8. Ray korban orng tua yg nggk tahu tnggung jawab org tua

    BalasHapus
  9. Berasa bahasa melayunya, lampu traffic. keren mah penuh cerminan kehidupan. sesulit apapun kehidupan harus menyertakan rasa syukur.

    BalasHapus
  10. walaupun fiksi tapi keren mba dew.

    kisahnya hampir sama dengan Afrizal pengamen jalanan, bedanya kalo ray membiayai adiknya dengan uang hasil jualan koran kalo afrizal dengan mengamen. saya suka saya suka ^_^

    BalasHapus
  11. Keren mba ... I like diksi dan isinya...

    Ditunggu kelanjutannya... Namun sy masih bingunn, sesosok "Aku" di ceritanya, namnya siapa ya??

    BalasHapus
  12. Siapa nama si "aku"
    Alan ada di bagian slnjutnya

    BalasHapus