Glasses


"Happy weekend guys." Sebuah ucapan wajib yang dilontarkan oleh orang-orang yang sedang berada di ruangan itu ketika akhir minggu tiba.

Semua akan bersuka cita di akhir minggu. Mereka akan merayakannya dengan pesta. Pesta di kalangan keluarga dengan jamuan makan malam. Tidak ketinggalan mereka juga akan membuat pesta di bar-bar. Mabuk sepuasnya. Kencan kepada pasangannya. Di kesempatan itu pusat-pusat hiburan diskon harga minuman.

Taman-taman mulai dipasang toilet emergency agar orang-orang yang mabuk tidak kencing sembarang tempat. Tidak ketinggalan tong sampah juga dibanyakin jumlahnya. Agar alat pengaman hubungan intin tidak berserakan di jalanan atau taman-taman.

Tapi bagi dia akhir minggu adalah hal yang biasa saja. Berkencan dan mabuk-mabukkan tidak hanya dilakukan saat weekend. Setiap hari juga bisa. Di bar atau di rumah. Aku selalu menjadi saksi atas sifatnya yang dingin. Sesekali angkuh namun rapuh. Akhir minggu lalu dia tidak ke bar yang biasanya. Masalahnya dia tidak terlalu suka dengan keramaian. Yang baginya hal begitu adalah norak. Dia pergi ke bar yang sedikit jauh dari rumahnya. Daerah perkampungan. Banyak ternak di sana.

Satu, dua, tiga ... lima botol sudah habis ditenggaknya. Kepalanya mulai pusing. Tapi tangannya terus saja menuang minuman. Manuskrip dan beberapa jurnal terus memenuhi ruang pikirannya. Mulutnya berkomat kamit seperti membaca mantra. Tapi sesungguhnya dia sedang menghapal beberapa kata kunci untuk bisa sampai pada jurnal-jurnal yang dia cari. Tugasnya sebagai peneliti begitu dicintainya. Tidak sedetik pun dia meninggalkannya. Bahkan saat tidur pun dia menghapal rumus-rumus untuk manuskrip yang akan ditulisnya.

Jalannya mulai sempoyongan. Matanya yang besar mendadak menyipit menahan sakit kepala. Sesekali dia terjatuh. Pusat keseimbangannya mulai terganggu akibat alkohol yang ditenggaknya tanpa jedah.

"Hei... Kamu sudah mabuk." Seorang wanita sekitar 50 tahunan menegurnya. Meskipun wajahnya terlihat sudah berkedut tetapi bodinya masih aduhai. Rambutnya pirang bergelombang kira-kira sebahu dan tergerai. Parfumnya bisa membuat pingsan para pengunjung. Bahkan tujuh perumahan bisa menghidu baunya.

"Iya, kamu juga," jawabnya. Dengan jalan terhuyung-huyung ke kanan dan ke kiri.

Aku terus saja memperhatikan dua orang yang tengah mabuk karena alkohol. Menjadi saksi atas pesta yang mereka lakukan dalam menyambut akhir minggu. Keduanya seakan sudah akrab. Saling menceracau. Terkadang aku yang mendengarnya tidak tahu apa yang sedang mereka bicarakan. Barangkali mereka juga sama denganku.

"Kamu mau pulang?" dia bertanya pada wanita itu.

"Iya, aku mau pulang. Tapi tidak ada yang menjemputku. Apa aku boleh ikut ke rumahmu?"

Sesaat hening. Dia berfikir dalam ketidakwarasannya. Lantas tersenyum penuh arti. Aku tetap saja memperhatikan mereka.

"Boleh. Rumahku sepi. Aku hanya tinggal sendiri,"

Keduanya melangkah ke luar bar menuju parkiran. Mereka saling diam dan berjalan sempoyongan. Tapi aku tau dia sedang berfikir. Memikirkan manuskrip dan jurnal-jurnal. Pikirannya selalu bekerja. Tidak pernah berhenti sekalipun dalam keadaan mabuk.

Sepanjang perjalanan mereka berdua saling diam. Wanita yang disampingnya tertidur. Malam semakin pekat. Namun kota itu masih ramai. Kendaraan masih berkejaran di jalan raya yang tidak mengenal kata sunyi.

Taman-taman masih penuh dengan orang-orang habis merayakan pesta. Ada yang memakai kostum batman, spiderman. Ada pula yang memakai kostum tema binatang seperti kelinci, kucing, panda, tikus.
Aku tetap awas di depan matanya. Memperhatikan jalanan. Sesekali hampir saja melanggar lampu isyarat. Kami memasuki kawasan perumahan. Hampir saja dia lupa lorong rumahnya. Akhirnya sampai juga di rumah berpagar setengah batu, bercat merah bata.

"Sudah sampai," dia membangunkan wanita yang tidur di samping kemudi.

Wanita itu berusaha membuka matanya yang berat. Mengucek-ngucek matanya yang sedikit kabur Kepalanya masih pusing.

"Kita sudah sampai mana?" Kesadarannya belum terkumpul penuh.

"Rumahku. Turun lah,"

Dengan rasa malas wanita itu pun turun. Jalannya belum sempurna. Masih sempoyongan. Alkohol yang diminum masih menguasai dirinya.
Dia membuka rumah yang memang tidak terkunci. Rumahnya gelap. Lampu ruang tamu sengaja dipasang redup. Semenjak kematian istrinya dia tidak suka dengan ruangan yang terlalu terang. Dia lebih suka berteman dengan kesunyian. Hingga tiap malam dihabiskan bercengkrama bersama manuskrip kerjaan.

"Naik lah. Kamu tidur di atas. Tapi harap maklum saja jika banyak sarang laba-laba di sana. Kamar itu sudah lama tidak dibersihkan,"

Tanpa jawaban wanita itu naik ke lantai atas. Berjalan sambil pegangan dinding. Terasa abu-abu  yang menebal di anak tangga menempel di kakinya. Tapi wanita itu tidak menghiraukannya. Baginya abu-abu itu tidak sekotor dirinya.

Segera saja dia melabuhkan pantat ke kursi kerjanya. Matanya melihat beberapa manuskrip yang tergeletak untuk segera dijamah. Tangannya menghidupkan layar komputer. Dibiarkan komputer menyala dengan sempurna.

******

Malam hampir berganti pagi. Orang-orang perumahan masih meringkuk di dalam selimut tebal menikmati mimpi indah. Tapi dia sudah bersiap-siap untuk keluar.

Wanita yang diajak bermalam di rumahnya sudah bangun. Duduk di ruang tamu dengan segelas air mineral di tangannya.

"Kamu mau kemana? Kulihat dari tadi kamu begitu serius hingga tidak menyadari aku sudah duduk lama di sini,"

"Aku akan berangkat ke kampus,"

"Bukannya weekend kampus akan libur?"

"Iya. Tapi aku ada kerjaan. Kamu tetap lah di rumahku. Jika ingin makan di lemari es ada makanan ringan dan roti. Jika mau masak, masak lah bahan-bahan yang ada di lemari es. Rasanya masih cukup untuk kamu makan,"

Dia melangkah ke luar. Dengan manuskrip di tangannya dan membawa laptop kesayangannya.

"Aku akan kembali ketika matahari sudah melipat wajahnya dan hari mulai berganti malam. Buat lah yang kamu suka dengan rumahku. Asal jangan masuk ke kamarku. Di sana banyak tikus-tikus pemakan kertas,"

Kamar dia memang bagai gudang yang berisi kertas dan buku-buku tebal. Berserak di sana sini. Tikus-tikus suka sekali membuat rumah di kamar itu.

Sepanjang siang dia membaca manuskrip tentang sebuah penilitian yang sedang dikerjakannya. Berbagai refrensi jurnal dilahap. Diskusi-diskusi melalui email juga dilakukan. Dan beberapa temu janji kepada pakar-pakar yang akan menjadi narasumber dia layangkan.

Hari merangkak sore. Pikirannya lelah. Dia butuh kesegaran. Berkas-berkas dia rapikan. Membawa beberapa berkas yang dianggapnya penting dan harus segera dikerjakan. Kakinya gontai melangkah ke parkiran. Mobil di parkirkan di ujung.

Dia memandu mobilnya ke arah taman. Taman kota yang sering dia kunjungi bersama istrinya saat sore tiba. Kenangan masa lalu masih segar di ingatannya. Aku masih setia di hadapan matanya. Jika tidak ada bantuanku mungkin dia sudah meraba-raba. Pandangannya kabur dan tidak akan pernah bercengkrama dengan manuskrip yang telah membunuh istrinya.







Bagikan

Artikel Terkait

Previous
Next Post »

2 Comments

  1. Wuihh... jd istrinya sebenarnya terbunuh karena apa? Bagaimana?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Dia terlalu cinta risetnya. Hingga istrinya terbiarkan dan mati dimakan tikus di kamarnya.

      Hapus