Bagian 5 : Halaman Terakhir



Sudah seminggu aku di Kota Gudeg. Banyak kisah perjalanan yang aku temui tanpa rencana. Banyak cerita baru yang aku dapatkan. Terimakasih kota penuh cerita dan warna warni kehidupan.

Tuhan memang selalu berbaik hati. Tidak perlu takut kamana pun berjalan sendiri. Karena setiap perjalanan akan menemukan orang-orang yang baik. Tidak perlu takut selagi setiap langkah diniatkan untuk kebaikan.

Jam menunjukkan pukul 9 pagi. Aku segera bergegas keluar dari tempat penginapan sebelum jam 12 tengah hari. Segala perlengkapan yang harus aku bawa pulang sudah aku susun malam tadi. Tas backpack yang berisi beberapa pasang baju, buku dan sedikit oleh-oleh.

"Assalamualaikum. Hari ini jadi pulang?" Sebuah pesan mendarat cantik di layar handphoneku.

"Waalaykumsalam. Jadi dong," balasku singkat. Karena aku masih membereskan sedikit lagi barang bawaan.

"Jam berapa? Aku mau mengantarmu ke bandara,"

"Jam 3 terbang. Jam 1 siang aku  sudah harus sampai bandara,"

"Baiklah. Terminal berapa?"

"Terminal 2 Bandara Adi Sucipto," jelasku

"Iya aku tau kalau di Bandara Adi Sucipto," dia memasang emoticon tertawa terbahak-bahak hingga mengeluarkan air mata.

Setelah semuanya siap. Aku check out dari tempat penginapan yang aku tinggali selama seminggu di kota gudeg yang penuh kenangan ini. Dari tempat penginapan aku menyusuri jalan menuju Malioboro. Entah sudah berapa kali aku singgahi jalanan Malioboro ini. Jalanan yang tidak pernah sepi pengunjung dari warga lokal, wisatawan lokal hingga mas dan mba bule dengan membawa tas gede menjulang hingga melewati kepala.

Di Malioboro ini tidak ada yang ingin aku cari selain menambah jejak kenangan dan mengutip kenangan yang telah aku ciptakan sebelumnya. Kegiatan di sepanjang jalanan Malioboro tidak pernah sepi barang sedetik pun. Aku memasuki Pasar Bringharjo. Pasar tempat membeli oleh-oleh. Tempat membeli batik dan banyak lagi. Setelah puas berkeliling aku singgah di sebuah kedai es cendol yang ada di dalam pasar. Mendengar celoteh para pedagang yang tak jauh-jauh membahas tentang pembeli yang sedikit sepi.

Setelah semangkuk es cendol aku nikmati. Aku pun melanjutkan perjalanan, menyusuri jalan pedestrian yang ramai manusia dengan berbagai kesibukan.  Bau keringat dan matahari bercampur baur di sana. Pedagang pecal, gudeg di pinggir jalan menjajakan dagangannya,  pedagang kue pun tak mau ketinggalan. Beberapa pedagang mainan pun berhilir mudik.

Sungguh pemandangan ini tidak akan aku temui saat aku kembali ke Medan. Merekam segala kota gudeg ini bagian yang terindah. Kelak akan menjadi kenangan yang mumunculkan kerinduan.

Jam ditangan menunjukkan jam 11.40 siang. Aku bergegas menuju halte trans Jogja dengan tujuan Bandara Adi Sucipto. Hampir satu jam perjalanan dengan rute mutar-mutar akhirnya sampai juga di bandara. Aku lantas berjalanan menuju terminal 2 yang agak terpisah dari terminal1. Dari terminal 1 menuju terminal 2 lumayan jauh jaraknya, sekitar 10 menit jalan kaki. Kakiku masih kuat kalau untuk diajak berjalan.

Tepat 13:05 aku sampai termina 2. Terminal 2 areanya lebih kecil dari terminal 1. Aku langsung saja menuju pintu masuk untuk check in. Terlihat dari jarak sedikit jauh dari tempat aku berdiri, laki-laki gondrong, kurus, tinggi berkacamata tebal dan tas kain yang tak pernah ketinggalan sudah duduk bangku di dekat pintu masuk. Senyumannya masih khas seperti pertama kali kami berjumpa di toko buku bekas. Dari kejauhan ia melambaikan tangan. Dan aku menghampirinya.

"Hai... Sudah sampai aja di sini," ucapku saat berada di hadapannya. Aku lantas menurunkan backpack dari punggungku dan duduk di kursi yang ia duduki.

"Iya dong. Aku selalu datang lebih awal setengah jam dari waktu kedatanganmu," jawabnya sambil mengelap kacamata tebalnya dengan kemeja yang dipakainya.

"Kamu nangis?" Aku mencandainya.

"Ngga, ini kacamata agak burem," ucapnya. Kami berdua tertawa.

Aku akui dia selalu datang lebih awal dari waktu yang dijanjikan. Katanya itu kebiasaan yang ia tumbuhkan dari sekolah dulu. Agar budaya lambat tidak ada pada dirinya. Jika pun lambat pasti ada alasan syari yang tidak dapat dielakkan.

"Kamu mau boarding sekarang?" Tanyanya padaku.

"Aku mau makan dulu. Perut uda kukuruyuk ni," jawabku. Perutku saat itu memang benar-benar lapar. Kadang sampai bunyi kemerucuk. Untung saja ia tidak dengar jadi tidak malu-maluin.

Kami memilih tempat makan di area bandara. Makanan cepat saji. Padahal ia yang aku tau tidak suka makan di tempat yang begini. Apalagi seorang vegetarian.

Aku memesan seporsi nasi dan ayam goreng serta tempe tidak lupa sambalnya. Ia memesan kentang goreng dan segelas jus bumi alias air putih. Ketika pesananku datang laki-laki gondrong berkacamata tebal mengeluarkan bungkusan dari tas keramat yang ia bawa.

"Itu apa?" Tanyaku sedikit mengusik.

"Bekal," jawabnya singkat sambil mengeluarkan bungkusan dari pelastiknya.

Aku memperhatikan gerak geriknya. Dengan santai dan tidak perduli dengan orang di sekelilingnya ia membuka bekal yang dibawanya. Pecal, tahu dan mendoan terlihat dari bungkusan yang dibuka.

"Masak sendiri?" Tanyaku mau tau.

"Touchscreen. Tinggal nunjuk di warung langsung keluar menu yang diinginkan," jawabnya melucu. Aku tidak tahan menahan leluconnya. Kami tertawa.

Seporsi nasi, ayam goreng dan tempe goreng pesananku datang. Tidak lama kemudian kentang goreng pesanannya pun datang. Ia memimpin doa makan. Aku nengadahkan tangan tanda berdoa.
"Boleh aku minta pecalnya?" Dengan wajah tidak tau malu aku meminta bekal yang dibawanya. Jujur pecal sayur dengan bungkus daun pisang menggugah semangat makanku.

"Boleh banget," ia menyendokkan sayur pecal ke piringku.

Kami akhirnya khusuk menikmati makanan masing-masing. Tidak terasa hampir satu jam berlalu. Aku harus segera cek in agar tidak tertinggal pesawat. Setelah membayar semuanya aku pamit untuk cek in.

"Terimakasih ya untuk seminggu pertemuan ini," ucapnya padaku. Tangannya menggenggam sebuah bungkusan berwarna coklat.

"Harusnya aku yang terimakasih kepadamu. Kalau begitu kembali kasih deh," jawabku sedikit buru-buru untuk segera masuk.

"Ini ada oleh-oleh untuk kamu. Bisa kamu baca-baca di atas pesawat. Ini buku terbaruku yang akan segera launching. Ini cuma dummy, bukunya belum selesai cetak ngga apaa kan?" Tangannya menyodorkan bungkusan coklat itu kepadaku.

"Wah terimakasih ya. Sudah ditandatangani belum?" Aku terlalu gembira. Karena aku memang penyuka tulisan-tulisannya.

"Perlu tanda tangan juga?" Tanyanya meledek.

"Perlu lah buat kepentingan pamer," seruku tak mau kalah.

"Sudah ada tanda tangan dan tanda baca di dalamnya," ia mengulas senyuman yang tak biasa.

"Oke terimakasih untuk perjalanan ini. Insya Allah ketemu dengan keadaan yang lebih baik lagi," aku berpamitan padanya lantas masuk menuju ruang antrian cek in. Ia melambaikan tangan tanda berpisah. Namun tubuhnya tetap tegak di sana sampai aku menghilang dalam ruangan.

Untung saja antrian tidak begitu panjang. Aku segera masuk ke ruang tunggu. Waktu penerbangan masih setengah jam lagi. Setengah jam waktu yang lama jika menggu. Akhirnya aku buka buku yang baru dikasih lelaki gondrong tadi.

"Halaman pertama tertulis terimakasih Tuhan atas pertemuan ini di kota yang diciptakan saat Tuhan sedang jatuh cinta. Tertanda Lensa Tua (LT).

Halaman ke dua ia menuliskan semoga kamu suka dengan tulisan ini.

Halaman ketiga tertulis "baca sampai akhir. Ada tulisan yang sengaja aku tulis untukmu."

Dengan rasa penasaran aku langsung membaca halaman terakhir.  Buku yang masih berupa dummy di halaman terakhirnya ada beberapa kertas yang masih kosong. Di sana tertulis sebuah tulisan dengan menggunakan pena biasa.

"Terimakasih sudah sengaja menemuiku. Meskipun sebelumnya kita tidak pernah mengenal. Terimakasih atas seminggu ini. Terimakasih atas perjalanan yang kita lalui bersama tanpa sengaja. 


Maaf terlalu lancang aku menuliskan ini untukmu. Aku hanya ingin mengungkapkan rasa gembira dan perasaan yang tidak biasa ketika bersisian denganmu. 



Rasa ini tidak pernah ada sejak sepuluh tahun lalu. Terakhir aku merasakan perasaan yang seperti ini waktu usiaku masih bau kencur alias masih kecil. Kalau tidak salah ingat saat aku masih SMP. Saat masih suka bergelantungan di angkutan umum menjadi kernet. Saat masih suka menggoda penumpang wanita. Hingga akhirnya timbul perasaan yang berbeda. Aku tidak mau mengartikan ini cinta. Rasanya terlalu terburu-buru. Tapi perasaan ini membuatku nyaman ketika bersisian denganmu. Semoga setelah ini kamu tidak menghindariku. Kamu tidak perlu membalas pesan ini. Karena aku hanya ingin mengabarimu tentang sebuah perasaan yang kamu ciptakan terhadap laki-laki yang ngaku-ngaku seniman. Ternyata hanya seniman berhati mellow. Semoga ada lembaran-lembaran selanjutnya untuk menuangkan kisah kita di sana."



Lensa Tua





Bagikan

Artikel Terkait

Previous
Next Post »