Bagian 4 : Bukit Bintang


Senja terlalu cepat melorot ke peraduan. Aku belum sempat menikmatinya dengan sempurna. Warung bambu tempat acara "ngobrolin buku" sudah hampir terisi penuh. Aku sengaja duduk di bangku paling pinggir agar dapat menyaksikan gemerlapnya lampu-lampu kota dan lampu rumah penduduk di bawah sana. 

Sehabis magrib acara dimulai. Laki-laki gondrong, kurus, berkacamata, duduk di bangku paling depan. Sebagai narasumber acara. Wajahnya yang tirus, rambutnya yang gondrong berkibar diterpa angin. Aku memperhatikan berjalannya acara. Asik sekali. Kota pendidikan dan di dalamnya banyak sekali para seniman-seniman terlahir di sini. Anak-anak muda yang kreatif dan produktif juga begitu banyak jumlahnya. Rasanya kota ini benar-benar diciptakan saat Tuhan jatuh cinta.  Aku pun mencintai kota ini. Dan para seniman dan sastrawan juga mencintai kota ini. 

Acara berlangsung hangat. Laki-laki itu tetap dengan gaya khas leluconnya, membuat acara semakin meriah dengan gelak tawa peserta. Aku pun menikmatinya. Hampir satu jam berlalu. Acara pun usai. Sebagian peserta tidak langsung pulang. Sama halnya denganku. 

Aku menikmati bukit bintang. Sungguh indah kerlap kerlip lampu saat malam hari jika dilihat dari jarak ketinggian . Seperti bintang yang kerlap kerlip di langit kelam. Begitu lah kenapa tempat ini disebut bukit bintang. 

"Bagus kan kerlap kerlip lampunya," suara bariton yang tidak asing mengagetkanku. 

"Iya bagus banget," jawabku pelan. Bukan tidak bersemangat. Tapi hanya saja aku sedang menikmati kopi jos susu dengan jahe ekstra. Rasanya pahit, manis dan pedas.

Suara riuh pengunjung bukit bintang tidak kami hiraukan. Kami merayakan perasaan sendiri. Ia memandang jauh ke depan. Tapi entah apa yang ada dalam pikirannya. 

"Tadi kamu saat jadi narasumber bagus banget. Aku suka," aku memecahkan kesunyin di antara kami. 

"Biasa saja. Mereka yang datang hampir kebanyakannya seniorku. Mereka penyair, penulis, pemikir yang luarbiasa. Tidak seperti aku yang penulis kalau mau," jawabnya. Sambil menyeruput kopi yang ada di tanggannya. 

Kami tersenyum. Ia selalu saja merendah meski pun tidak jarang dipuji oleh pembaca setianya. Ia penulis kesunyian. Seperti hidupnya yang sunyi. Jalan hidupnya yang jarang diketahui orang lain kecuali yang dekat dengan dirinya. Aku bukan orang yang dekat. Bahkan kami baru saja ketemu beberapa hari yang lalu. Tapi aku bisa membaca dari gaya tulisannya yang selalu dengan perenungan, tentang sebuah kesunyian, tentang perjalanan di belantara hidup yang riuhnya hanya sekedar sejatinya sunyi. 

Malam semakin larut. Jagung bakar yang kami pesan baru saja datang. Rasa jagung asin dan rasa jagung manis. Obrolan kami semakin panjang. Dari seputar buku, penyair, tentang cinta bahkan kisah keluarga tapi tetap saja dibumbui banyolan yang membuatku tertawa. Hingga mukaku memerah.

"Aku tidak pernah cerita sebegini terbukanya kepada siapa pun. Malam ini entah kenapa aku terlalu terbuka kepadamu. Apalagi soal keluarga. Jangan-jangan kamu ini manusia magnet. Bisa menarik orang-orang untuk cerita apapun dan menarik hati siapa pun," ungkapnya. 

Aku memandangnya sekilas. Ada suasana sendu di raut wajahnya yang tirus. Air mata yang menggantung di balik kacamata tuanya. Namun bibirnya tetap mengulum senyum yang penuh arti. 

" Apaan sih aku kan ngga minta kamu cerita. Aku hanya mendengar apa yang kamu ceritakan," jawabku sambil mengunyah jagung bakar manis dan gurih. 

" Iya kamu bisa menarik hatiku dan cerita-cerita sunyiku. Yang sudah lama mengendap dan memang sengaja aku simpan dalam-dalam. Tapi, hari ini entah kenapa aku bisa bercerita semua itu kepadamu. Tanpa beban. Tanpa harus ada yang ditutupi," 

"Magnet cinta," jawabku ngasal. 

"Bisa jadi," jawabnya sambil tersenyum. 

Malam itu bukit bintang bukan sekedar melihat kerlap kerlip lampu. Tapi lebih dari sekedar itu. Aku pun hanyut dengan suasana. Sehingga banyak bercerita. Pada lelaki yang masih terbilang asing dalam kehidupanku. 

Malam semakin kelam. Warung bambu bersiap untuk segera tutup. Pengunjung sudah mulai sunyi. Tinggal kami yang masih bertahan dan beberapa orang yang mulai bergerak untuk pulang. 

"Kamu aku anterin ya ke penginapan. Sudah larut malam tidak ada angkutan lagi untuk kembali ke Malioboro," ia menawarkan tumpangan kepadaku. 

"Boleh deh," aku menerima tawarannya. Bukan tanpa sebab. Karena hari sudah larut malam memang tidak ada lagi kendaraan umum yang lewat. 

"Tapi naik motor legenda bapakku yang sudah tua. Ngga apa kan?" 

"Ngga apa asal kuat menampung bobotku," jawabku. 

"Kuat lah. Angkat gajah aja kuat. Tapi gajah-gajahan," ia melebarkan senyuman. Menampakkan giginya yang putih. 

"Dasar," aku ikut tertawa. 

Kami melewati jalanan Malioboro yang masih ramai pengunjung. Jajanan lesehan masih bertahan, penjual wedang ronde masih setia melayani pembeli. 

"Kamu mau langsung pulang atau mau minum wedang ronde?" 

"Mau pulang saja lah. Sudah capek. Bau apek. Seharian mbolang terus," 

"Siap. Aku hantar ke penginapan,"

Tempat penginapan terlihat sunyi. Barangkali penghuninya sudah pada tidur, mungkin juga masih menikmati suasana malam.  

"Terimakasih untuk hari ini. Malam ini tidak sekedar melihat bintang, tapi menghadirkan bintang," Ia tersenyum. Senyum yang berbeda dari sebelumnya. Kali ini senyumnya lebih ikhlas, matanya lebih bersinar. Seperti baru saja mendapatkan hadiah besar. Tapi entah apa. 
















Bagikan

Artikel Terkait

Previous
Next Post »

8 Comments

  1. Saya yang baca, ikutan senyum-senyum nggak jelas nih mbak.
    Suka. Keren cerpennya ^_^

    BalasHapus
    Balasan
    1. Saya ngga tanggung jawab klo senyum2 gaje ya, mba hihi

      Hapus
  2. Keren, suka, mengalir, dan seperti kata Lensa Tua, seperti menghadirkan bintang.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mungkinkah Si "Aku" bakal jadi bintan di hati lensa tua

      Hapus
  3. Menghadirkan bintang pada bukit bintang.

    Tempat kenangan.

    BalasHapus
  4. Aduh saya kok senyum-senyum sendiri pas di kata gajah-gajahan. Keren mba

    BalasHapus