Bagian 1 : Namaku Lensa Tua



Di kota yang tidak pernah sepi pelajar maupun pembelajar. Di lorong-lorong sempit antara tumpukan buku. Para mahasiswa dan pendatang dari penjuru daerah atau negara memadati area-area itu, tak terkecuali aku. Rasanya bagiku tempat itu adalah surga dengan aroma kertas lawas namun dengan mudahnya mempengaruhi pikiranku.  Satu dua orang berhampiran denganku yang kuyakini mereka adalah mahasiswa kampus ternama di kota itu sedang mencari buku untuk mengerjakan tugas-tugas kuliah. Meski pun aku bukan berasal dari wilayah Jawa tapi dialek dan bahasa jawa sudah akrab di telingaku.  

Memasuki toko buku tua. Yang dindingnya mulai kusam namun tersamarkan dengan tumpukan buku yang aku perkirakan jumlahnya puluhan ribu. Penjaga toko buku bekas itu juga tak kalah tuanya dengan toko yang ia tunggu.  Dengan kaca mata yang sentiasa menempel di wajahnya ia sentiasa menunggu tokonya sambil membaca buku. Ada yang berbeda dengan toko buku tua yang mulai melihatkan wajah kusamnya. Dengan area toko yang tidak terlalu luas, di bagian depan sang empunya menyediakan warung kopi kecil. Warung kopi dengan dekorasi sederhana, ornamen-ornamen lawas juga tampak di sana seperti lampu patromaks, gelas kaleng, piring kaleng serta termos air panas zaman dahulu. Cukup sederhana sekali. 

Aku tergoda antara aroma kopi dan buku. Tapi aku terus saja mengelilingi rak buku dan melihat beberapa judul buku yang menarik perhatianku. Entah sejak kapan sosok pria dengan rambut gondrong memperhatikanku dari celah buku-buku. Lantas ia menawarkan satu buku yang menurutnya menarik untuk dibaca. 

"Ini buku sastra bagus dan fenomenal" laki-laki gondrong, berhidung mancung, tinggi dan berkacamata menyodorkan buku kepadaku. 

"Buku apa ini?" Tanyaku yang sedikit bingung, terlebih lagi laki-laki itu bukanlah orang yang aku kenal. 

"Baca saja, buku bagus" ucapnya sambil tersenyum.  

Tanpa banyak tanya lagi aku membawa buku yang disodorkan lelaki itu dan beberapa buku yang telah aku pilih sebelumnya ke meja penjaga toko untuk membayarnya. 

Hujan di luar masih deras. Aku putuskan untuk memesan kopi dengan gula sedikit. Sejatinya untuk menikmati kopi seharusnya tanpa ada gula diantara kita, agar lebih terasa cita rasa kopi sebenarnya. Tapi, aku tidak ingin menikmati asam dan pahitnya kopi saja tapi harus ada manis sebagai pelengkap. Aku mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. Meja dan kursi semuanya penuh. Di sudut terlihat meja kecil dengan bangku panjang.  Lantas aku berjalan ke sudut ruangan dengan segalas kopi yang aroma mampu menyihirku dari kesendirian. Aku duduk di sana dan membuka buku rekomendasi dari pria gondrong tadi.  

"Buku itu bagus. Apalagi jika kamu suka sastra," 

Entah sudah berapa lama ia berdiri di dekatku. Seketika aku jadi kikuk. Sejurus kemudianku aku melemparkan senyuman tanpa sepatah kata pun. 

"Boleh numpang duduk?," 

"Silakan," 

Bangku panjang yang aku duduki tiba-tiba terasa sempit hanya menyisahkan sedikit ruangan. Aku bergeser ke hujung tempat duduk. 

"Maaf, jadi sempit ya. Maklum badanku besar," ucapnya. Sambil tersenyum dan menyeruput kopi yang dipegangnya. 

Badan kurusnya seakan menjadi raksasa ketika kami duduk berdampingan. Bibirnya mengalir cerita tentang buku. Aku mendengarkan saja yang diucapkannya. Sesekali menanggpi. Selebihnya aku hanya jadi pendengar. 

Kami seakan dua orang teman yang sudah kenal lama. Ia bercerita banyak tentang buku. Padahal kami baru kenal beberapa menit lalu, tanpa dia kenal namaku dan aku pun tidak kenal namanya. 

Hujan di luar sana mulai reda. Tinggal geremis dan sedikit angin yang masih kencang. Angin menyibakkan rambut gondrongnya dan rambutnya menerpa wajahku.  Dasar seniman. Ujarku pelan. Aku yakini hanya aku saja yang mendengarnya.  

"Seniman receh," ucapnya. Seketika mukaku memerah menahan malu. 

"Emang seniman selalu identik dengan gondrong?" Tanyanya sambil membalik-balikan lembar demi lembar buku yang ada di tangannya.  

"Setau aku sih begitu. Kalau klimis, necis, pakai dasi, jas, sepatu pantofel itu pejabat" jawabku sekenanya.  

Lantas ia tertawa mendengar jawabanku.  

"Ia juga. Aku juga bukan guru jadi ngga masalah gondrong ya kan?" Seketika ia ikat rambut panjangnya dengan karet gelang yang ia kutip di lantai bekas bungkus sego kucing. 

 "Aku pamit dulu. Hujan sudah reda. Ada tempat yang harus aku datangi langi," 

"Oia sudah ngalor ngidul kita cerita. Kamu asli sini?" 

Kami tertawa. Perjalanan selalu menemukan orang-orang yang selalu menyenangkan. Hingga lupa kami tidak pernah kenalan sebelumnya. 

"Aku orang Sumatra," 

"Sumtra mana?"

"Utara," 

"Horas," sembari ia tersenyum lebar menampakkan gigi putihnya yang berderet rapi. 

"Aku Lensa tua. Jika kamu ada waktu besok datang lah ke klinik kopi. Kita minum kopi dan ngobrol sastra dengan beberapa komunitas di sana," 

"Insya Allah. Jika cukup waktu aku datang. Pamit dulu aku harus segera pergi." 







Bagikan

Artikel Terkait

Previous
Next Post »

10 Comments

  1. Sekilas. Tp keren ceritanya. Apalagi deskripsi tempatnya. Pingin sy bisa mendeskripsikan tempat seperti kak dewi ini

    BalasHapus
  2. Bagus 😍😍😍😍😍

    Harusnya langsung nyebut nama sendiri dan nanya nama aslinya lensa tua. 😥

    BalasHapus
    Balasan
    1. Emang sengaja ngga mau disebutkan namanya, Amma 😊

      Hapus
  3. Kerasa banget aroma hujan, aroma buku, dan rambut Si lensa tua yg kena wajah 😊

    BalasHapus
  4. laki-laki gondrong, berhidung mancung, tinggi dan berkacamata? Oh, bukan uncle berarti haha

    BalasHapus