Ikhlas



"Kapan pulang?" Satu pesan mendarat di handphonku sebelum November pergi.

"Insya Allah secepatnya," balasku setelah Desember baru saja menjejak menggantikan November yang berlalu.

Sudah beberapa lama tidak ada komunikasi diantara kami. Tepatnya hampir 4 bulan sejak diskusi alot waktu itu. Entah kenapa aku  menerimanya saat ia datang memintaku untuk menjejaki hubungan yang lebih serius, padahal aku juga pernah menolaknya saat ia datang pertama kali dulu. Sungguh saat itu bukan penolakan yang tak beralasan setelah beberapa kali istikhoro aku lakukan.

Dasar wanita terlalu lemah hatinya, pendengarannya terhadap ucapan yang bisa jadi hanya muslihat setan. Aku menerimanya juga bukan tidak beralasan, meski pun masih ada keraguan yang menjadi bayang-bayang. Tapi, Abah terlalu berharap bisa menjadikan ia sebagai bagian dari kelaurga dengan ikatan yang lebih spesial.

Semenjak penerimaan itu. Komunikasi diantara kami seperti biasanya. Sekedar mengirim kabar dan sesekali berdiskusi kecil yang sebenarnya tidak penting. Pernah pula aku ucapkan padanya jangan terlalu berharap. Jika jatuh bisa benjol. Dia tertawa. Aku masih hambar.

****

"Tuan, jika dalam penantian kau temukan dia yang lebih dari diriku segerakan. Tidak mengapa. Aku tidak ingin mengikatmu dengan sebuah hubungan yang belum pasti hujungnya. Aku ikhlas," sebuah pesan yang pernah kukirim padanya. Aku bukan tidak ingin membangun rasa terhadapnya. Aku hanya takut dengan rasa yang aku ciptakan jika kelak rasa manis di awal berubah pahit di akhirnya.

Ia tidak membalas. Beberapa lama baru ia membalasnya. Aku tau ia sibuk dengan kegiatan yang dijalani. Aku tetap menciptakan pondasi. Tidak ingin terjebak dengan rasaku sendiri. Sesekali rindu yang begitu kurang ajar singgah di dalam hati. Namun secepat mungkin aku menepisnya. Barangkali sudah lama tidak berkirim kabar. Begitu aku meredamnya

"Hmmm," dia hanya mendehem membalas pesanku yang sudah hampir seminggu berlalu. Dasar laki-laki datar gerutuku. Aku tersenyum. Karena aku pun terlalu dingin untuknya.  Aku pun enggan membalas pesannya yang entah apa maksudnya.

"Aku masih mau menunggu," ucapnya selang beberapa menit pesan pertama yang ia hantarkan.

"Terimakasih. Insya Allah awal tahun nanti aku pulang sebentar untuk melihat ibu dan abah. Barangkali kita bisa bertemu,"

"Terimakasih untuk apa?," tanyanya.

"Terimakasih sudah mau menunggu,"

Sejak saat itu kami tidak pernah komunikasi. Aku lihat dia begitu sibuk dengan kerjaannya. Aku pun tenggelam dengan rutinitas kerja. Hingga ngedrop dan harus menginap selama dua malam di rumah sakit kerajaan di daerahku tinggal. Tidak ada yang tau aku terkuali lemah dengan jarum gantung menancap ditangan. Itu lebih baik dari pada teman-temanku dan keluarga tau tentang keadaanku.

****

Beberapa hari lalu ia mengirim pesan tentang kegiatannya. Tentang anak muridnya, tentang keluarganya. Aku bahagia dengan kabar yang dikirimnya. Setidaknya kabar keceriaan anak didik, orangtuanya sehat dan dia pun tidak kurang dari satu apa pun. Percakapan malam itu tidak seperti biasanya. Cukup lama. Entah apa saja yang kami bicarakan. Hingga hampir tengah malam. Aku yang sedang mengetik beberapa tugas tulisan yang hampir deadline, hitung-hitung dia menemaniku di sela tugas yang lumayan menguras energi otak.

Setelah obrolan panjang ia menelphoneku. Tapi tidak aku jawab. Karena hari sudah larut takut mengganggu teman-teman asrama yang sudah dibuai mimpi.

"Kenapa tidak diangkat?," ia bertanya lewat whatsapp.

"Teman-teman sudah tidur. Nanti ganggu,"

"Aku sebenarnya mau mengatakan sesuatu,"

"Iya katakan saja lewat pesan pasti aku baca kok,"

" Sebelumnya maaf aku ucapkan untuk wanita yang pernah kujanjikan aku akan menunggunya sampai pulang dari negeri sebrang. Bukan mau mengingkari janji atau memberi janji palsu. Tapi, aku tidak bisa menunggu. Banyak hal yang tidak bisa dijelaskan lewat pesan. Kalau kita bertemu nanti akan aku jelaskan. Insya Allah 17 desember 2017 aku akan lamaran dengan seorang akhwat yang dijodohkan kakakku. Bukan karena dia lebih baik lantas aku memilihnya. Tapi, ada satu alasan yang aku harus menerimanya." Pesan yang panjang selama kami chatting.

"Darahku berdesir, mataku mengembun, perlahan luruh," ini bukan menangisi penyesalan. Tapi, ini sebuah jawaban yang sudah aku perkirakan sebelumnya.

Selama ini aku bukan hanya diam tanpa reaksi. tapi Allah begitu bijaksana. Ada adegan yang selu istimewa. Seorang teman yang pernah menjadi teman sekamarku selama 5 tahun ternyata teman dekatnya saat sekolah dulu. Mereka masih sering bertemu dengan teman-teman yang lainnya juga. Banyak informasi yang kugali dari temanku. Tidak ada salahnya menyelidikinya tanpa ia ketahui. Karena itu sebagai salah satu bentuk ikhtiar agar lebih mengenalnya. Agar tidak seperti beli kucing dalam karung.

Informasi sudah banyak aku dapatkan. Hingga aku tau harus memilih jalan yang mana untuk aku tempuh, tembok rasa yang mana untuk aku bangun dan kokohkan.

"Iya tidak mengapa. Aku ikut bahagia. Aku sudah ikhlas untuk menerima kabar ini. Akhirnya ya!" Kusematkan lambang senyum
 kepadanya. Berkali-kali ia ucapkan maaf tetapi hanya aku balas senyuman.

"Aku pamit tidur," aku akhiri percakapan malam itu. Padahal aku tidak benar-benar tidur. Masih banyak tulisan yang harus segera aku hantar ke email editor. Tapi, malam itu pikiranku sedikit terganggu dengan kabar yang baru saja aku dengar sebentar tadi.

Kuseduh segelas kopi toraja yang tinggal sedikit lagi. Kunikmati setiap sesapan, kuamati rasa, kuhirup aromanya dalam-dalam cukup menenangkan. Lantas aku lanjut mengetik artikel yang sempat menggantung. Menjelang subuh, mata sudah tidak kuat menahan kantuk, beberapa artikel sudah siap aku ketik. Lantas aku hempaskan tubuhku ke pembaringan yang menemaniku hampir 10 tahun, tilam yang sudah kempes, tapi tetap setia menerimaku ketika aku butuh tempat istirahat yang nyaman.

Tidak menunggu lama aku sudah pulas di alam mimpi. Melepaskan segala masalah, melepaskan sesak yang sempat menghimpit dada. Sudah aku ikhlaskan semuanya. Dengan mengikhlaskan lah penawar semua luka, duka dan kecewa. Tapi, dinding hati telah pun kokoh untuk menghadapi semua itu.

#cerpen #fiksi





Bagikan

Artikel Terkait

Previous
Next Post »

2 Comments

  1. Sediiih...hiks hiks
    Alloh tahu yang terbaik..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Untung tokoh aku sudah menyiapkan dinding yang kokoh ya mba. Jadi ngga terlalu baper dia ☺

      Hapus