Penyesalan

Malam semakin tua. Pagi muda hampir menjelang. Aku masih duduk di meja mekan tempat biasa kita berkumpul bercanda penuh gelak tawa menikmati hidangan yang tersaji. Tapi, sejak hari itu hingga malam ini tidak ada lagi. Semua terasa dingin, sunyi, senyap tak ada lagi gurauan antara aku dan kau. Hanya suara angin dari pendingin ruangan yang menemaniku malam ini.

"Aku ingin kita bercerai" suaramu begitu lirih saat mengucapkan kata cerai.  Tapi aku yang mendengarnya bagaikan tersengat aliran listrik tegangan tinggi. Seketika perhatianku tumpah pada wajahmu yang memandangku. Aku mencari sesuatu dalam bola matamu. Suatu kebenaran kata-kata yang baru saja kau ucapkan sebentar tadi.

Air mata tumpah dari bendungannya. Ketika kau begitu yakin dengan kata cerai yang baru saja aku dengar dari mulutmu. Rasanya hari itu dan bulan April adalah hari air mata bagiku. Air mata kesedihan atas keputusanmu untuk meninggalkanku. Aku merasa bersalah atas tuntutanku serta ide-ide gila yang akhirnya pada keputusan itu.  Sungguh aku bersalah dan menyesal.

"Kenapa harus cerai, mas? Apa kau benar-benar sudah tidak menginginkanku dalam kehidupanmu?. Sepuluh tahun sudah kita menjalani rumah tangga ini" mulutku menceracau minta kejelasan. Tentang perasaannya terhadapku. Apakah dia begitu membenci diriku atas tuntutan-tuntutanku untuk memiliki anak.

"Sungguh cinta ini masih begitu kuat bahkan sampai kapan pun. Cerai adalah keputusan yang bagus untuk kita berdua. Agar mimpimu untuk mempunyai anak dari rahimmu bisa terealisasi. Biar aku tidak menjadi penghalang atas mimpi itu. Aku mandul!" Antoni mengucapkan itu semua dengan jelas. Tuntutanku yang menjadi tekanan bagi dirinya berakhir dengan keputusannya untuk bercerai.

Tapi sungguh, bukan ini yang aku mau. Bukan!. Hatiku bagaikan daging yang tersayat pisau dapur yang begitu tajam.  Cinta yang kusemai kini layu bak bunga kekurangan air di musim kemarau. Air-air sungai yang menyejukan tak lagi mengalir. Hujan tak lagi turun ke bumi. Permata yang berkilau kini terlihat kusam. Tidak berhaga. Kesedihan membungkus hari-hariku.

Keputusannya sudah bulat untuk menceraikanku. Semenjak hari itu di ranjang yang besar tidak ada Mas Antoni di sampingku. Meskipun kami masih hidup satu bumbung. Mas Antoni memilih pisah ranjang dan tidur di ruang kerjanya. Setiap hari aku masih melayannya di meja mekan. Tetapi tidak ada obrolan sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya. Yang ada hanya suara piring dan sendok yang sesaki beradu hingga mengeluarkan bunyi. Begitu pula ketika petang menjelang. Aku tetap setia menunggu kepulangannya di beranda rumah. Dengan senyuman yang selalu membuatnya ceria, menghilangkan rasa lelah setelah seharian bekerja.

Tapi sayang Semenjak keputusanya itu. Wajahnya selalu dingin bak kutub utara yang tertimbun bongkahan es. Senyumannya menjadi mahal. Ketika makan malam tidak ada lagi cerita seputar kegiatan kantornya.

Beberapa bulan berlalu dengan kehidupan yang upnormal. Keputusan hakim dibacakan dan bulan juni aku resmi bercerai dengan Mas Antoni. Rasanya dunia menjadi gelap gulita. Bahkan aku menjadi setengah gila. Di dalam rumah yang cukup besar namun menjadi sempit ketika setiap hari penghuninya hanya menangis sedih.

sebelum kepergiannya  saat makan malam terakhir Mas Antoni hanya mengucapkan pesan yang membuatku semaki berdosa. Dosa yang mengetuai segala penyesalan.
"Menikalah dengan Rasyid. Ia menunggumu. Aku tau kalian berdua punya perasaan yang sama. Saling mencintai. Makanya ia belum menikah sampai saat ini. Barangkali Rasyid bisa mewujudkan impianmu." Aku tidak bisa berkata-kata lagi saat itu hanya air mata yang terus mengalir dari sumbernya.

Tidak menunggu lama. Semenjak keputusan itu Mas Antoni pergi meninggalkan rumah. Membawa koper yang berisi baju yang aku sudah hapal dengan warna-warnanya. Mataku menghirup punggungnya ketika ia pergi meninggalkan rumah ini hingga ia hilang di tikungan jalan untuk selamanya. Rumah yang kami bina bersama. Kini hanya aku sendiri dengan kondisi setengah gila. Iya aku!. Setiap hari aku tetap menggu Mas Antoni pulang kerja di beranda rumah. Meskipun aku tau dia tidak akan kembali lagi ke rumah ini.

Semenjak bulan juni itu aku begitu kehilangannya. Kehilangan segalanya. Kehilangan keceriaan, kehilangan cinta, kehilangan semangat, kehilangan akal waras. Seakan semuanya tidak ada yang menyenangkan. Semuanya hanya kesedihan. Ini semua salahku, ini semua dosaku. Dosa yang membuatnya hilang dari kehidupanku. Dosa yang mengetuai segala penyesalan.

#tantanganodop
#fiksi

Bagikan

Artikel Terkait

Previous
Next Post »

7 Comments