PPI Mengajar: Tak ada Bendera Merah Putih, Kami Tetap Indonesia


Cikgu...cikgu tangkap gambar kami 

Senin, 28 maret 2016 merupakan kesempatan emas bagiku. Dapat membersamai anak-anak di Sekolah Indonesia Klang (SIK). Meskipun sampai lokasi sekolah sudah agak siangan. Tapi, semangat ini masih terpatri seperti semangat yang lahir di pagi hari.

Ular besi membawa aku dan dua rekanku menuju stasiun Klang. Perjalan dari Stasiun Kuala Lumpur menuju stasiun Klang lumayan jauh jaraknya. Sekitar setengah jam di dalam perut ular besi, melewati stasiun satu ke stasiun lainnya. Akhirnya kami sampai juga di stasiun Klang. Keluar dari perut ular besi kami bertiga bergegas mempercepat langkah untuk mencari taksi agar cepat sampai ke sekolah Indonesia Klang (SIK). Tak menunggu lama, akhirnya kami langsung mendapat taksi yang lagi menunggu penumpang. Kami bertiga pun masuk ke dalam taksi. Taksi melesat membelah jalanan Klang. Sekitar lima belas menit kami sampai tempat tujuan.

Sampai di depan sebuah rumah flat kami di turunkan. Sekolah ini tidak seperti sekolah pada umumnya yang menggunakan bangunan yang khas untuk sekolahan. Tetapi, sekolah Indonesia Klang memakai bangunan di rumah flat yang dijadikan kelas-kelas. Tak banyak memang kelas yang di buka. Hanya ada 3 ruangan. Ruang satu merupakan kelas 1 dan 2 sekolah dasar (SD), ruang dua merupakan kelas 3 dan 4 sekolah dasar dan ruang tiga merupakan kelas tingkat SMP. Sekolah ini cukup sederhana, tiada bendera merah putih di halaman sekolah, tiara gambar president dan wakilnya. Tapi, mereka tetap Indonesia. Seragam sekolah putih-putih dengan sampin merah merupakan seragam kebanggan, dan identitas mereka.

Saat keluar dari taksi, siswa/siswi kelas 1& 2 berteriak-teriak dari dalam kelas "Cikgu...cikgu...cikgu..." kami bertiga hanya tersenyum menyambut teriakan mereka. Lalu kami menemui ibu wardennya yang mengajar disitu. Bu wardenlah guru satu-satunya yang mengajar di Indonesia Klang. Setelah bertemu ibu warden, saya dan Khabibah mengajar di kelas 1 dan 2, sedangkan Rudi mengajar SMP.

Saat saya memasuki kelas, anak-anak yang dengan wajah polosnya berhamburan dari kursinya mendekati kami.
"Cikgu...salam...cikgu salam" teriak mereka sambil menyalami kami.Rasa haru mulai menyelimuti hati. Rasa yang tak dapat dibayar oleh apapun. Seketika kelas menjadi riuh meskipun tugas sudah diberikan oleh ibu warden sebelum meninggalkan mereka untuk beberapa jenak mengajar di kelas 3 dan 4. Saat itu pelajaran bahasa Indonesia, anak-anak menulis apa yang di tugaskan oleh ibu warden. Sebagian anak mengerjakan dengan serius dan sebagian lagi hanya ingin main-main.
Aku Dan akmal 


Saya dan khabibah sedikit kewalahan untuk menenangkan mereka. khas anak-anak yang masih senang bermain di usia mereka, ada yang teriak-teriak, berantam hingga akhirnya menangis, ada yang memanggil cikgu-cikgu..cikgu Dewi, mereka memamerkan tugas yang mereka tulis dengan sempurna.
Akmal sedang menulis

Seorang murid kelas 1 Akmal namanya, Ia memanggilku "cikgu kemarilah" teriaknya dengan sedikit ucapan yang tidak jelas dari tempat duduknya. Aku pun mendekatinya, ternyata ia ingin menunjukan bahwa tulisannya hampir selesai. Ku perhatikan ia menulis dengan pergerakan tangannya yang kurang sempurna, huruf demi huruf berpindah ke bukunya. Tulisan ala anak kelas 1 belum rapi sepenuhnya, tetapi semangat Akmal begitu besar.
Suasana kelas 
Setelah kelas hampir berakhir, ibu warden datang untuk menilai tugas anak-anak. Sambil menilai tugasan mereka, ibu warden memberitahu bahwa Akmal merupakan penderita Autis. Meskipun dengan kekurangannya Akmal mempunyai semangat yang tinggi untuk belajar.

Jam 12.00pm kelas berakhir. Sebelum pulang anak-anak berdoa bersama terlebih dahulu. Begitulah kebiasaan mereka sehari-hari. Saat ingin keluar kelas merekapun berebut salam dan berpamitan pulang. Sementara ada beberapa anak yang masih tinggal di kelas karena tugasnya belum selesai, saat belajar mereka lebih banyan bermain. Saat teman-temannya pulang mereka kebut tugas.

Menyelami dunia anak-anak yang dibutuhkan adalah kesabaran. Karena tingkah anak-anak tidak sama seperti orang dewasa. Anak-anak sangat suka diperhatikan.

Dan semoga program PPI Mengajar bisa melatih jiwa kepemimpinan, pendidik yang mampu memberi ilmu dengan penuh kepedulian.

Indonesia hadir dengan janji kemerdekaannya yaitu melindungi, mensejahtrakan, mencerdaskan warganya. Meskipun mereka tidak berada di Indonesia, mereka dengan bahasa melayu fasih, di sekolah mereka tidak berkibar sang saka merah putih. Tetapi, mereka tetap berhak mendapatkan pengajaran yang layak, membebaskan mereka dari buta huruf adalah tugas kita bersama. Kelak mereka yang akan menjadi aset bangsa Indonesia.


Bagikan

Artikel Terkait

Previous
Next Post »

10 Comments

  1. Modal utama mengajar memang sabar. Terus menginspirasi teh Dew. Luarbiasaa

    BalasHapus
  2. Iya aa, emang kudu sabar full apalagi ngajar anak kelas 1 & 2 SD

    BalasHapus
  3. Iya aa, emang kudu sabar full apalagi ngajar anak kelas 1 & 2 SD

    BalasHapus
  4. awie, anak yg diajar itu ortunya tinggal disitu?banyak yg ingin aku tanyakan

    BalasHapus
  5. Wahhh kerennn.. mereka kelahiran sana mbak wie? Atau kelahiran Indonesia yg dibawa ortunya ke sana?

    BalasHapus
  6. Pokoknya mbak Wie tuh keren bgt...

    BalasHapus
  7. Pokoknya mbak Wie tuh keren bgt...

    BalasHapus