Surat Untuk Malaikat Berjuta Sayap

Sukakamu.com

Entah kenapa jariku selalu keluh, otakku berhenti bekerja untuk menciptakan sebuah kalimat, ketika menempatkan sosok ibu menjadi objek tulisanku. Rasanya tidak ada kata yang pas untuk mewakili  menuliskan kebaikan-kebaikan tentangmu. Sosok hebat luar biasa dalam hidupku. 

Ini bukan surat pertama yang aku tuliskan untukmu. Tapi, biarlah ini ungkapan yang bisa jadi belum sempurna untuk menggambarkan kehebatamu. Peran yang Allah percayakan kepadamu. Sebagai ibuku. 

Masih teringat jelas. Masa kecilku dulu. Tentang kehidupan kita yang amat sederhana. Kata tetangga, kita miskin. Tapi, ibu mengatakan kita kaya. Cuma kita terlalu sederhana. Hingga hari ini kalimat  itu masih terngiang. Sebuah pelajaran yang belum tentu aku dapatkan dari bangku sekolahan. Namun, ibu mengajarkan jauh sebelum aku duduk di bangku sekolah. Ibuku itu hebat. 

Masih teringat. Waktu itu usiaku baru saja duduk di bangku SD. Hari pertama sekolah. Ibu mengantarkanku sampai pintu kelas. Mencarikan bangku untuk tempat dudukku. Lantas ibu pergi meninggalkanku. Sementara teman-teman yang lain masih ditunggui oleh ibu dan bapaknya. Ibuku tega meninggalkanku sendiri.  Ternyata ibu belum benar-benar pulang. Ibu masih memperhatikanku dari balik dinding. Sesekali mengintipku dari kaca nako sekolah. Ketika aku mulai nyaman,  barulah ibu pulang.  Ketika aku pulang ibu menyambutku.  Kamu hebat. Jadi kakak tidak boleh jadi penakut. Ibuku mengajarkanku kemandirian dan percaya diri. 

Ketika aku sudah mengenal abjad serta bilangan. Ketika itu ibu menyuruhku menuliskan segala impian-impianku. Tangan mungilku yang belum rapi merangkai fenom,  dengan susah payah menuliskan impian-impian itu. Layaknya anak kecil pada umumnya. Aku tuliskan impianku seperti menjadi dokter, guru, dan masih banyak lagi. Seketika ibu tersenyum bangga. Melihatku sudah bisa merangkai kata. Lantas ibu mengaminkan semua impian itu. 

Ketika puasa tiba. Ibu mendudukkanku di meja makan. Dengan lampu penerangan seadanya. Kami sahur bersama-sama.
 "Kakak mau puasa?" Binar mata ibu begitu semangat mengajariku untuk menjalankan puasa. 

"Iya, kakak mau kawasa" aku menjawab dengan lidah cadelku. Untuk mengucapkan puasa menjadi kawasa. Ibu tertawa. Lantas mencium pipiku.

Makanan terhidang. Tangan ibu menyuapi nasi dengan lauk. Keikhlasannya begitu terasa. 

******
Lintasan ingatan di kepala dari kecil hingga dewasa tidak akan bisa selesai jika dituliskan satu persatu. Momen per momen. Karena peranmu begitu luarbiasa. Tidak ada yang bisa menggantikan. Tidak ada rangkaian kata yang tepat untuk menggambarkan kehebatanmu. Bahkan jika dirumuskan.  Tidak ada rumus yang dapat menguraimu. 

Entah dari komponen apa Tuhan menciptakanmu. Dengan kepak sayapmu yang tak terbilang jumlahnya, mampu menggerakkan berjuta-juta malaikat. Lantunan doa-doamu langsung terbang ke langit. Begitu dahsyatnya setiap perkataanmu. 

Tapi, terkadang aku menangis. Jika nanti  peranmu telah usai dalam kehidupan nyataku. Lantas pergi meninggalkanku dalam termenung. Membiarkanku menangis. Dan mulai saat itu atap langit kita sudah berbeda. 

Aku yang masih bergelimang dosa kepadamu. Belum sempat mengucap kata maaf. Bahkan ketika rindu mencekam. Untuk sekedar berpeluk saling menguatkan, tangan tidak sanggup berjabat. Jika saat itu tiba rasanya berliter air mata sudah terlambat. 

Dengan surat ini, anakmu memohon maaf. Rasa cinta selalu ada untukmu. 

Terimakasih...

Ibu... ❤❤❤

Anakmu

Dewie dean

Bagikan

Artikel Terkait

Previous
Next Post »

10 Comments

  1. Selamat Hari Ibu, doa terbaik untuk beliau 🙏

    BalasHapus
  2. Selamat hari ibu, biarlah para ibu selalu diberkati kehidupannya.

    BalasHapus
  3. Selamat Hari Ibu dan Mari terus berbakti kepda ibu

    BalasHapus
  4. Alfatehah untuk beliau Dewi ... saya sedih membacanya ... semoga beliau bahagia di sana ... doakan yang terbaik. Selamat Hari Ibu.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Emakku masih ada. Eh kebacanya emmakku sdh ngga ada ya kak ? Semoga emak panjang umur 😊

      Hapus