Kedai Kopi yang Menjual Kenangan

Dokpri

Akhir pekan membuat orang yang bekerja dari senin-jumat masih bermalas-malasan. Menikmati libur dari rutinitas biasanya. Jalanan sedikit lengang. Kendaraan pribadi tidak sebanyak biasanya. Bus yang aku naiki sedikit longgar. Padahal biasanya sehabis subuh sudah penuh. Aku selalu berdiri ketika menaikinya.

Hari ini aku ingin menikmati akhir pekan seperti pekan-pekan sebelumnya. Mencari kedai kopi yang menenangkan. Kopi yang aromanya membangkitkan urat-urat saraf yang lemas dan paling penting membangkitian kenangan.

Aku rindu pada dia yang sudah ntah beberapa lama menghilang. Kali ini bus berhenti di halte yang pertama kali kami berjumpa tanpa sengaja. Lalu aku jalan menuju kedai kopi yang berada di ujung jalan.

Kedai kopi yang pengunjungnya tidak pernah banyak. Namun, selalu setia untuk dibuka. Setelah aku membuka pintu, aroma kopi yang pernah kuhirup singgah di penciuman. Kuperhatikan ruangan kedai kopi ini. Aku mengedarkan pandangan di kursi mana aku akan duduk. Suasananya masih sama. Ornamen yang pernah kulihat masih bertahan di sana. Susunan rak buku yang masih rapi, tanda belum ada yang mengambil buku-buku itu dari raknya. Di ujung di bawah tangga naik ke lantai dua ada beberapa gitar berjejer di sana. Gambar Bob Marley sang musisi reggae yang paling tersohor, terpasang di salah satu dindingnya.

"Lama tidak kemari kemana saja?." Suara bariton mengagetkanku

"Iya, lagi sibuk saja. Jadi, tidak sempat untuk ngopi di sini" jawabku, menutupi kekagetanku yang masih bertahan karena pertanyaan itu

"Sendiri saja ini. Mau pesan apa?"

"Iya sendiri. Pesan V60 latte dan sunda geisha"

"Sendiri kenapa pesan dua?." Laki-laki penjaga kedai kopi yang usianya tidak terlalu tua itu memperhatikan sekitar. Barangkali aku sedang menunggu seseorang yang akan menemaniku minum kopi pagi ini.

***

Kenangan ketika meneguk kopi bersama laki-laki yang kutemui di halte setahun lalu  melintasi pikiran. Wajahnya yang dingin, rambut ikal hampir mendekati bahu, bicaranya yang tidak kaku, sesekali senyumnya yang membuat rindu. Tanpa disengaja dan diminta semua itu menjadi kedekatan antara kami berdua. Akhirnya kedai kopi ini menjadi tampat kami melepas rindurindu untuk bercerita buku-buku.

"Ini kopinya. Temannya belum datang juga" pelayan kedai kopi masih dengan rasa penasarannya

"Dia tidak akan pernah datang. Kopi ini sebagai peneman untuk mengobati rindu"

Laki-laki pelayan kedai kopi itu sedikit bingung. Namun tidak berani bertanya lebih jauh.

Sebulan lalu dia berpamitan untuk menjalankan tugas. Akan pergi sedikit lama dari biasanya. Namun takdir berkehendak dia harus pergi selamanya. Pesawat yang ditumpanginya hilang kendali dan terjun ke laut. Semua penumpang yang ada di dalamnya sudah sampai pada tujuan yang hakiki: Illahi.

Kedai kopi ini menjual kenangan yang aku butuhkan sebagai obat rindu. Kopi ini sebagai kenangan yang pernah diracik untuk kami berdua. Rasanya kenangan ini ingin aku hapuskan. Karena menyimpan kenangan lebih sakit daripada rasa kehilangan itu sendiri.


Bagikan

Artikel Terkait

Previous
Next Post »

10 Comments

  1. Saya juga penikmat kopi, kopi Bali. Membaca ceritanya di atas, saya ikut merasakan kesedihan. Semoga bisa segera terhapus dan tergantikan dg kenangan yang lebih indah

    BalasHapus
  2. Saya kok baper yaaa...ikut sedih

    BalasHapus
  3. Kadang salah satu cara melupakan memang dengan mengingat kenangan itu sendiri hingga terasa biasa saja. Satu dua tahun bersedih tak mengapa. Habiskan kesedihan hingga tak bersisa. Semoga Allah gantikan kenangan buruk dengan bahagia 🤗

    BalasHapus
  4. Kebayang asiknya menikmati kopi yg penuh kenangan

    BalasHapus
  5. Kalimat penutupnya jleb banget deh. Kisahnya asyik, tapi rasanya kurang panjang gitu. Baru mau merasakan konflik eh, udahan. Keren kak Dewi. 😘

    BalasHapus